Begitu Aziz menyarankan untuk datang ke apartemennya pagi ini, Satya langsung mengiyakan. Tentu saja sebelum pergi tidak lupa untuk mengabari orang rumah dan sopir khusus dari Papinya. Satya sendiri malas bawa mobil sendiri dan sudah jadi pengangguran. Di perjalanan dan lagi bertarung dengan macet, dari jok belakang kursinya dia berkontak dengan Obi pakai panggilan aplikasi perpesanan. Tidak peduli dengan perbedaan waktu.
"Ha? Seriusan Pandora datang langsung ke lo?"
"Teriakan lo bikin kuping gue budek anjir," protes Satya kesal.
"Ah biasa sih, dia selalu datang ke kita kalau mau meramal sesuatu atau memperingatkan bahaya."
"Masa iya? Bohong ah."
"Ah elah capek gue ngomong sama lo lama-lama."
"Eits jangan putus telepon dulu Bro." Satya cepat-cepat menghentikan aksi ngambek Obi. Sampai-sampai sopir menoleh sedikit, dia hanya beri senyum sebagai pertanda semua baik-baik saja baru kembali ke topik awal. "Gue, kan, bercanda doang."
"Pokoknya saran dari gue -- mungkin kalau Nira gabung bakal gini juga bilangnya -- adalah lo kudu percaya apa yang Pandora bilang, Gue sudah kemakan omongan sendiri, dan ternyata kehidupan keluarga gue penuh konspirasi. Pantes aja Bapak sama Ibu semangat banget waktu dengar gue mau kuliah di New York dulu."
"Makasih ya Bro." Satya memutus panggilan setelah dapat tanggapan hem dari sahabatnya tersebut.
Kemacetan sepertinya terurai sedikit sehingga Satya bisa kembali fokus pada pemandangan gedung-gedung tinggi ibu kota. Karena jika lihat ponsel waktu mobil jalan, yang ada kepalanya makin pusing.
Apartemen Aziz terletak di Jakarta Timur, ternyata bukan apartemen melainkan rumah susun. Tempatnya memang tidak terlalu kumuh, tetapi bau ketek dan bau rokok orang-orang sekitar sungguh menyiksa hidung. Parahnya, masih harus pakai tangga manual dan lokasi Aziz dan Rahman ada di lantai tiga. Satya tidak sudi saat ada perempuan-perempuan yang menatapnya penuh cinta palsu selama naik tangga dan mengitari koridor. Sudah banyak lantai keramik yang patah di pinggir, dan ada satu dua penghuni yang seenaknya duduk di luar menghadap pintu pakai sajadah merah yang beralih fungsi jadi karpet.
Rumah susun buatan pemerintah kenapa nggak niat gini sih? Heran gue. Coba aja ini dibeli sama Mas Anton buat investasi, lumayan nih si Sakti apa Tidar yang ngurus pas mereka sudah kuliah nanti.
Senyum Satya mereka saat menemukan nomor 410 dan 411, tempat di mana Aziz dan Rahman tinggal. Ternyata mereka adu nasib bersama.
"Eh, Bro Satya, masuk dulu gih," ajak Aziz yang hari ini pakai kaus gambar band kartun aneh dengan celana pendek motif daun maple warna coklat.
Tempat Aziz ini model apartemen studio dengan versi kumuh. Tempat tidur yang tinggal naik satu tangga beserta lemari kayu, dapur di pinggir pintu dan kamar mandi yang bahkan hanya pakai ember besar warna merah dari plastik. Tidak disediakan sofa, hanya meja bulat kecil dengan televisi layar datar dua puluh lima inci dengan kabel rumit di sekeliling. Belum lagi asbak penuh puntung rokok di samping laptop dan gelas ampas kopi yang belum dicuci dari kemarin.
Reflek Satya mengeluarkan kernyitan.
"Maklum, Bro. Tidak semewah griya tawang ente." Aziz nyengir dan mendahuluinya untuk buang puntung rokok di tong sampah sebelah dapur dan cuci gelas di bak cuci piring. Syukurlah di bagian dapur masih terjaga kebersihannya.
"Ah santai aja, Bro." Satya mengibaskan tangan sambil duduk meluruskan kaki pada jendela lebar yang bukanya digeser, dan hanya gorden putihnya tidak dibuka sama sekali.
Setelah beberes, Aziz duduk di sebelahnya dan buka laptop lebar yang didesain khusus untuk permainan video, bagian belakangnya terlihat lebar dan desain layarnya melengkung pada bagian atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reputasi | ✓
Mystery / Thriller[SERI PANDORA #3] (21+) Cover by: shadriella. Satya Narayan Anggara (28), adalah cowok humoris, ganteng, gampang bergaul, dan digadang-gadang menjadi penerus Grup Anggara. Sebelum itu, Satya bekerja sebagai supervisor divisi pemasaran untuk jenjan...