BAB - 27: Hotel Raja Mahendra

60 1 23
                                    

"Ada apa lagi?"

Si Pengawas Kepercayaan membungkuk hingga sembilan puluh derajat pada Sang Anonim di meja kerja kesayangannya. "Apa benar bahwa jiwa Putra Manakar masih ada di pedang belati kesayangannya?"

Pandora teralih dari surat curhatan dari salah satu kliennya. "Memang benar."

Jawaban singkat itu tidak memuaskan sang Pengawas Kepercayaan, dia mempercepat langkahnya hingga mencapai meja kerja sang Anonim. "Pandora, kau tahu sekali Putra Manakar berulah maka itu akan membahayakan reinkarnasinya. Anda tahu sendiri setiap reinkarnasinya pasti umurnya tidak akan panjang. Kau mau membahayakan anak kesayanganmu?"

Pandora tahu semua ini, dia juga tahu betapa bengisnya Putra Manakar pada reinkarnasinya dari generasi ke generasi jika tidak menuruti perkataan orang tersebut. Kebanyakan hukumannya adalah menusuk diri sendiri pakai belati yang sudah dikasih racun yang terbuat dari racikan Putra Manakar sendiri, kemudian orang-orang akan mengira itu adalah bunuh diri. Bila masih bertahan hidup, Putra Manakar akan membuat si reinkarnasi jadi gila dan tidak akan ada yang menolongnya sama sekali.

Di sela-sela pembacaan surat dari orang-orang yang membutuhkan jasa curhatnya, ada setitik rasa percaya pada Satya bahwa dia tidak akan bikin Putra Manakar melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya. Sejauh pengamatannya, Satya bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Iya, amarah adalah pintu gerbang di mana Putra Manakar akan melakukan aksi yang ia inginkan.

"Tentu saja tidak," jawab Pandora yang terkesan gantung.

"Lantas kenapa Anda diam saja?" Kedua tangan sang Pengawas Kepercayaan mencengkram ujung meja kerja Pandora. "Segeralah lakukan aksi seperti yang Anda lakukan setiap generasi reinkarnasi Putra Manakar."

Pandora menggeleng pelan, menurutnya aksi tersebut malah membahayakan eksistensi sang Anonim itu sendiri. Sudah cukup dengan reinkarnasi sebelum Satya yang bikin markas lama Pandora terbakar puluhan tahun lalu. "Kali ini, biarkan Satya mengatasinya sendiri. Namun, kita harus tetap mengawasinya dan jangan sampai kendur."

Kepala sang Pengawas Kepercayan bergerak ke atas dan bawah bergantian, seakan kepahaman ini bagaikan pola kusut yang mulai tersambung. "Pantas saja kau mengirim salah satu pengawas muda itu, dan bukan anaknya Mbok Dar."

"Setidaknya walau mengambil langkah di luar dugaan dan kenyamanan saya, tapi ini tidak membahayakan sama sekali," balas Pandora, "Anaknya Mbok Dar sudah kukasih tugas ke yang satunya lagi."

Sang Pengawas Kepercayaan tahu bahwa yang dimaksud zona nyaman Pandora adalah tetap tidak ada teknologi sama sekali. Namun, untuk pertama kalinya Pengawas muda itu menggunakan barang tersebut.

Makhluk berjubah hitam dengan topeng merah putih itu merasakan hawa ketidakpercayaan Pengawas Kepercayaannya. "Kamu jangan khawatir gitu, si Pengawas Muda itu juga nggak bikin gara-gara yang bikin lokasi terbaru kita terlacak orang-orang."

Benar, apa yang dikatakan Sang Anonim memang benar dan tak bisa terbantahkan. Pengawas Kepercayaan tahu ada nada terpaksa, tapi satu sisi ia bersyukur sejauh ini semua aman. Mereka pun saling berkomunikasi menggunakan telepon prabayar tanpa internet dengan nomor khusus. Waktu si Pengawas Muda mengalami kecelakaan, sang Anonim mengutus Pengawas senior lain untuk membiayai pengobatannya. Sifat jeleknya kadang tidak bisa ditolerir, tapi hanya dia yang bisa dipercaya saat ini. Untung saja Satya tidak menyadari sama sekali.

Pengawas Kepercayaan yang memakai topeng warna perak setengah muka menghela napas berat. "Memang betul saya khawatir, tapi walau bagaimana pun saya tidak bisa membantah perintah Anda."

Tangan Sang Anonim terulur ke pintu. "Bila tidak ada yang dibicarakan lagi, silakan meninggalkan ruangan ini. Masih banyak surat yang harus saya balas."

Reputasi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang