Gerry meminta Daniel dan Keana untuk keluar dari ruangan. Membiarkan mereka untuk berbicara berdua, sementara dia berada di kamar ini menjaga untuk nenek. Dengan seragam sekolah yang dia kenakan, Gerry merutuki dirinya sendiri di hadapan nenek.
Daniel lagi-lagi tidak sekolah hari ini. Dia harus menjaga neneknya yang sekarang tidak sadar, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Mengingat itu semua, membuat Gerry merasa bersalah.
Memikirkan bagaimana kemarin Daniel meneleponnya berkali-kali. Bagaimana perasaan Daniel ketika mengetahui nomornya malah diblokir dengan keenam temannya. Bagaimana Daniel membawa neneknya ke rumah sakit hanya dengan berlari.
Bagaimana rasanya menjadi Daniel ....
"Nek, Daniel itu baik." Gerry mulai bersuara parau. Menundukkan kepala, menatap tangan keriput milik nenek. "Kita yang jahat."
"Nenek beruntung punya cucu kayak Daniel. Maaf ... cucu Nenek udah kita buat hancur." Air mata Gerry lolos jatuh saat itu juga.
Berharap nenek tidak mendengar kata-katanya supaya wanita itu tidak kecewa padanya. Gerry masih tidak berani untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada persahabatannya. Gerry masih menjadi pengecut di sini. Mengatakan semua itu, Gerry hanya ingin mengeluarkan isi hatinya.
"Satu-satunya orang yang nggak pernah menyakiti Daniel cuma Nenek, ya, Nek?" Kini pandangan Gerry beralih pada jendela kamar yang menampakkan punggung Daniel yang sedang berdiri di depan kamar bersama Keana. "Makanya itu, Nenek harus bangun. Karena gak ada orang sebaik Nenek yang bisa jagain Daniel. Sahabat-sahabat Daniel masih belum bisa jadi sahabat yang baik, Nek."
"Nenek harus bangun, demi Daniel. Demi satu-satunya cucu Nenek ...."
¶¶¶
Daniel kini tengah berdiri di hadapan Keana. Keduanya saling menatap satu sama lain tanpa berbicara sepatah kata pun. Hanya dengan tatapan yang saling berbicara, seolah mereka telah melepas rindu, bercerita tentang hari-hari yang dilalui setelah memutus hubungan, mengeluhkan betapa hancur hatinya.
"Ekhm." Keana berdehem sembari memutus tautan tatapannya. Mengalihkan pandangan ke arah lain. Dengan keberanian yang telah terkumpul, dia akhirnya mulai berbicara, "aku semalam udah turutin permintaan kamu."
Daniel mengerutkan keningnya bingung. Dengan gugup dia bertanya, "permintaan apa?"
"Semalaman aku berdoa," jawab Keana masih tidak mau menatap wajah Daniel. "Buat nenek."
Tidak menyangka dengan ucapan Keana, Daniel merasa begitu bahagia. Bibirnya mengulas sebuah senyum karena ternyata Keana masih peduli padanya. Lebih tepatnya pada neneknya.
"Makasih," ucap Daniel yang kemudian diangguki pelan oleh Keana.
Entah mengapa, rasanya sangat berbeda. Keduanya begitu canggung. Tidak seperti biasanya. Dulu, saat mereka ada waktu bersama seperti ini, Keana akan bercerita banyak hal, mengoceh hingga mengomel, bahkan melampiaskan segala kekesalannya pada Daniel yang selalu sabar mendengar setiap kata yang terucap dari mulut gadis itu. Daniel yang selalu tersenyum saat melihat wajah kesal Keana. Juga Daniel yang selalu berhasil membuat Keana salah tingkah.
Rasanya semua itu telah hilang sekarang. Kini, yang ada hanya Daniel dan Keana yang sama-sama saling diam. Daniel dan Keana yang canggung.
Beberapa saat keadaan di sana menghening. Keana dan Daniel memutuskan untuk duduk di kursi panjang yang ada di sampingnya. Tanpa berbicara, mereka hanya saling membuang muka. Bergeming sambil berusaha mengabaikan perasaan yang terus meminta untuk melakukan interaksi.
Keana menunduk, menatap sepatu hitamnya di atas lantai putih rumah sakit. Bibir indahnya bergetar ketika merasakan wajahnya memanas. Sepatu yang dia tatap itu menjadi buram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Teen FictionClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...