Kemarin, Daniel terjaga sepanjang malam. Dia sama sekali tidak ingin tidur, menghabiskan waktunya hanya untuk berdoa, memohon supaya Yang Maha Kuasa sudi membiarkan dia dapat kembali berbicara dengan neneknya.
Hingga matahari terbit membuat Daniel tanpa sadar telah membiarkan dirinya lupa sejenak akan kesedihan di dunia. Dia tidur dalam posisi duduk di sisi ranjang sambil memeluk tangan neneknya.
Merasakan ada yang bergerak di tangannya, Daniel terbangun. Rasa kantuk membuat matanya berat untuk membuka mata sepenuhnya. Daniel mengangkat kepalanya untuk bangun. Dengan penglihatan yang masih buram, dia melihat tangan neneknya sedikit bergerak. Hal itu membuatnya langsung membuka lebar matanya. Dia mendongakkan kepala, melihat wajah neneknya.
"Nek!" Senyum yang begitu lebar terbit di wajahnya. Daniel benar-benar terkejut sekaligus senang melihat neneknya yang tengah menatapnya sekarang.
Wanita itu tersenyum dengan keadaan masih lemas. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipi Daniel, membuang segala rasa rindunya. "Cucu nenek kok sendirian?"
Mata Daniel semakin berbinar mendengar suara neneknya. Setelah berhari-hari dia tidak mendengar suaranya, akhirnya kini dia dapat mendengarnya kembali.
Oh, Tuhan ... nyatanya tidak ada yang sia-sia.
"Teman-teman kamu mana?" Belum sempat Daniel menjawab, nenek sudah menimpali pertanyaan kembali.
"Teman-teman ...," ucap Daniel menggantung. Dia bingung harus menjawab apa sekarang.
"Janu, Gerry, sama yang lain ... panggil mereka ke sini." Daniel memejamkan matanya sejenak. Mengingat kondisi persahabatannya sekarang.
Laki-laki itu masih diam, memikirkan alasan apa yang akan dia berikan jika teman-temannya tidak ada yang mau menemui nenek. Dia tidak ingin membuat neneknya kecewa.
"Panggil mereka ke sini, nenek kangen," lanjut nenek sekali lagi. Bahkan tangannya sempat menepuk pelan lengan Daniel.
"I-iya, Nek. Sebentar, aku telepon mereka dulu, ya." Daniel akhirnya memutuskan untuk menjauh dari ranjang nenek dan mulai mencari kontak Gerry.
Dengan harapan yang tidak utuh, Daniel akhirnya benar-benar menelepon Gerry setelah berkali-kali menghela napas panjang. Hatinya sudah siap untuk dihancurkan dengan apa pun yang terjadi setelah ini. Daniel sudah siap kecewa jika kenyataannya mereka tidak akan datang. Mungkin hanya Gerry yang akan ke sini.
"Ada apa, Niel?" Suara Gerry telah terdengar dari benda pipih yang sedang menempel pada daun telinganya. Membuat lamunan-lamunan akan kepahitan itu buyar.
"Nenek ... dia udah siuman, Ger," ucap Daniel dengan penuh keraguan.
"Alhamdulillah, beneran?" Dari seberang sana, suara Gerry terdengar begitu bahagia. "Gue ke sana sekarang, ya!"
"Ger."
"Iya? Ada yang dibutuhkan? Biar sekalian gue bawain ke sana, Niel."
"Nenek minta semuanya datang." Setelah mengatakan itu, keduanya hanya hening. Beberapa saat tidak terdengar jawaban dari Gerry. Daniel pun hanya bisa menghela napas pasrah sambil menyandarkan tubuh di kusen pintu.
"Ger." Daniel kembali bersuara setelah meneguk ludah yang terkumpul bersamaan dengan rasa sakit di tenggorokan akibat menahan kesedihannya. "Nenek pengen ketemu kalian semua. Gue takut, itu jadi permintaan terakhir dia ...."
Setelah mengatakan itu Daniel langsung memutus panggilannya sepihak. Tubuhnya langsung merosot, bersandar di balik tembok dengan bahu yang bergetar. Dia mengusap wajahnya kasar, menumpahkan air mata yang sejak tadi dia tahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Fiksi RemajaClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...