"Sekali lagi, aku tanya sama kamu, Gerry. Apa alasan kamu minta putus?"
Gerry hanya diam, menundukkan kepala. Sesekali mengusap kelopak matanya yang basah. Menarik napas panjang. Hingga akhirnya dia kembali menatap gadis di depannya. "Dinda ...."
Dinda membalas tatapan itu dengan perasaan bercampur aduk. Marah, kecewa, sedih, semua menjadi satu.
"GERRY JAWAB!" Hari ini Dinda telah melepas sifat sabar, kalem, juga lembut yang dia miliki. Gadis itu menarik kerah seragam Gerry dengan kasar, menatap mata sipit di hadapannya yang spontan meneteskan air mata. "Gerry jawab ...."
Merasa tidak ada jawaban sama sekali, Dinda mundur beberapa langkah. Rasanya sangat tidak percaya. Laki-laki yang ada di hadapannya ini seolah bukan Gerry yang dia kenal.
"Nggak bisa jawab, kan?" Suaranya memelan disertai rasa kecewa yang sangat besar.
Isi pikiran Dinda hanya dipenuhi oleh opini tentang sikap Gerry yang dasarnya polos dan kekanak-kanakan. Laki-laki yang cengeng itu membuat Dinda semakin yakin bahwa tidak akan ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan.
Dinda menatap Gerry dengan begitu dalam ketika manik mata hitam pekat itu juga bertemu hingga tatapan mereka saling bertaut untuk beberapa saat. Kedua tangan putih itu mengepal di sisi rok abu-abu, menahan amarah dan kecewa yang bercampur aduk.
"Aku benci kamu, Gerry!"
Detik itu juga waktu terasa melambat. Gerry seakan lupa bernapas saat mendengar ucapan yang keluar dari mulut Dinda. Bendungan air mata yang sejak tadi ditahan-tahan kini telah runtuh, mengalir begitu saja membebaskan diri membasahi pipinya.
Tatapan mata yang sempat bertaut kini telah terputus. Dinda membalikkan tubuh dengan membekali air mata untuknya. Hingga punggung itu perlahan menjauh lalu hilang setelah memasuki koridor sekolah.
Gerry masih setia membeku di tempatnya dengan penuh rasa tidak percaya. Dengan penuh harapan bahwa ucapan Dinda tadi hanya sebuah candaan. Juga dengan angan-angan bahwa yang terjadi saat ini hanyalah imajinasi yang dia buat-buat.
"Aku sayang kamu, Dinda."
¶¶¶
Di dalam kelas, tidak ada perbincangan yang membuat ruangan tersebut ramai seperti biasanya. Ketika langkah kaki Gerry memasuki kelas, dia mendapati beberapa orang yang terlihat seperti kehilangan jiwanya.Raga Daniel dapat terlihat jelas, dia duduk di bangkunya sambil memandang kosong papan tulis kotor di depan kelas. Wajahnya tidak bersemangat. Di bangku paling belakang, Alexi duduk sendirian. Salah satu kakinya dinaikkan dimasukkan ke kolong meja, mata laki-laki itu melamun. Seperti memandang dunia lain.
Gerry sempat melihat seorang gadis yang tadi menangis di hadapannya. Dia duduk di bangku urutan kedua dari depan. Tatapan mereka sempat saling bertemu sesaat, setelah itu Dinda memilih mengalihkan pandangan dan menunduk. Gerry menghela napas panjang, berusaha untuk tidak merasakan sesak di dadanya.
Saat berjalan menuju bangkunya, Gerry sempat melewati bangku Daniel. Laki-laki itu menatap Gerry dengan wajah sedih. Gerry membalas tatapan itu dengan perasaan yang tidak dapat dideskripsikan. Entah dia marah kepada Daniel atau malah iba, Gerry juga tidak mengerti.
Memilih tidak peduli, Gerry akhirnya berlalu begitu saja tanpa menyapa Daniel, bahkan untuk tersenyum pun enggan.
Melihat kehadiran Arsen dan Janu, ketiga anggota Classy Bastard yang ada di sana hanya menarik napas panjang. Tidak ada niat untuk menyapa. Tidak ada rasa semangat untuk mengajak berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Teen FictionClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...