Tidak terasa, malam sudah berganti menjadi pagi. Taburan bintang kemarin sudah hilang digantikan dengan sinar matahari yang terang. Daniel tidak tahu kapan dia tertidur, sebab saat dia membuka mata, ternyata posisinya masih sama seperti kemarin malam yang dia habiskan waktunya hanya untuk menangis.
Dia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah jendela kamar yang sudah tampak bercahaya. Sinar itu menyengat di mata, membuat Daniel yang semula hanya melihat kegelapan dalam tundukan kepalanya itu mendadak silau.
Sudah jam enam pagi. Daniel segera berdiri, merasakan tubuhnya yang terasa kaku. Bahkan luka-luka di wajahnya pun belum dia bersihkan. Masih terasa sangat sakit.
"Daniel, kamu belum bangun?" Suara nenek terdengar dari balik pintu.
Daniel segera menjawab meskipun ternyata rahangnya sangat sakit untuk berbicara. "Udah, kok."
Wajahnya yang lebam itu terlihat begitu jelas. Daniel takut jika nenek melihatnya, dia akan terus bertanya dan khawatir. Daniel tidak mau membuat nenek cemas.
Menoleh ke kanan-kiri, mencari sesuatu yang mungkin kini bisa menyelamatkannya dari pertanyaan khawatir nenek. Lantas tangannya menemukan sebuah masker tergeletak di atas kabinet. Daniel segera memakainya lalu keluar dari kamar.
"Kamu ngapain pakai masker?" tanya nenek setelah tubuh tinggi Daniel berdiri di hadapannya.
"Aku flu, Nek," jawab Daniel lalu pura-pura bersin untuk membuat nenek semakin yakin.
"Ya udah, nggak usah sekolah dulu, ya? Biar nenek titipin surat ke teman-teman kamu." Daniel segera menggeleng, menolak permintaan nenek.
Cepat-cepat dia pergi ke kamar mandi sebelum neneknya semakin banyak bertanya. Sungguh, jika boleh mengeluh, rasanya seluruh tubuh lagi Daniel sangat sakit. Saat tubuh tingginya berdiri di depan cermin kamar mandi, saat itulah dia menyadari bahwa semua luka yang dia dapat belum dia obati bahkan dibersihkan.
Daniel menatap wajahnya dari pantulan cermin tersebut. Wajah lebam yang dia dapatkan kemarin membuatnya terus teringat bagaimana marahnya Arsen, kecewanya Janu, dan terkejutnya teman-teman.
Kemudian dia teringat wajah Keana.
¶¶¶
"Jangan masuk kelas kalau nggak waktunya masuk." Saat Daniel hendak memasuki kelas, sebuah tangan terlentang tepat di depan wajahnya. Menghalangi jalannya.
Daniel hanya bisa menghela napas panjang sambil berusaha untuk menahan betapa sakit hatinya sekarang. Jika Daniel adalah Gerry, mungkin dia akan menangis tersedu-sedu detik itu juga.
Seandainya mereka tahu betapa sedih dan terlukanya Daniel ketika melihat rumah yang biasanya sudah diramaikan dengan teman-temannya untuk berkumpul sebelum berangkat sekolah, hari ini rumahnya sepi. Saat biasanya dia pergi ke sekolah bersama keenam temannya sambil bercanda tawa bersama, hari ini dia pergi sendiri dengan keadaan hati yang sangat perih. Lalu sekarang, biasanya, dia akan masuk ke kelas bersama-sama dengan mereka, hari ini mereka malah menolaknya untuk masuk.
"Pergi!" pinta Arsen sekali lagi dengan nada begitu dingin.
Sekilas dia dapat melihat keenam temannya yang berada di dalam kelas dengan raut wajah tidak seperti biasanya. Daniel tahu, mereka memperhatikannya. Tetapi tubuh mereka sama sekali tidak bergerak untuk menyusul atau membiarkan dia masuk.
Jika sekalipun dia diijinkan masuk hanya untuk duduk sendiri di atas bangkunya, Daniel sungguh tidak apa-apa. Setidaknya dia masih merasa mereka mau berbaik hati padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Teen FictionClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...