"Karena nenek percaya sama kalian, nenek juga akan percayakan satu-satunya cucu nenek ke kalian." Daniel mengerutkan alisnya bingung dan sedikit terkejut. Tumben sekali neneknya berbicara seperti itu.
"M-maksud Nenek?" tanya Daniel masih bingung.
"Nenek cuma mau berpesan aja, Niel. Usia nenek kan udah tua, Tuhan bisa jemput nenek kapan aja." Wanita tua itu menjeda sejenak, menatap cucunya dengan senyum. "Kalau nenek pergi, siapa lagi yang akan jaga Daniel? Tentu saja Daniel masih punya sahabat-sahabatnya."
"Nek, jangan ngomong gitu, ah." Daniel tampak tidak suka dengan kalimat-kalimat nenek yang dramatis. "Gak asik, Nek. Jangan ngomong gitu dong!"
"Nanti, kalau nenek tiba-tiba dijemput, nenek tutup cucu nenek yang satu ini, ya." Semua hanya diam menatap Daniel dan Nenek bergantian, kemudian saling melempar tatapan satu salam lain. Hingga beberapa detik menghening, mereka akhirnya mengangguk.
"Janu," panggil nenek dengan suara yang lirih. Dia melambaikan tangan, mengisyaratkan bahwa dia ingin Janu menghampirinya.
Tanpa menunggu lama, Janu segera menggeser duduknya untuk mendekat pada nenek. Entah mengapa, saat di dekat wanita tua itu, Janu merasakan kasih sayang yang sesungguhnya. Kasih sayang dari seorang nenek. Selama ini, dia tidak pernah bertemu dengan neneknya sama sekali. Mungkin karena itu, ini terasa seperti impresif.
Terlebih lagi ketika nenek merangkul pundaknya. Menatap Janu dengan teduh, bibirnya tersenyum. "Nenek dengar dari Daniel, kamu paling tua di antara mereka. Dan kamu paling sabar, nggak mudah marah."
Janu terpaku sejenak. Merasakan hangatnya rangkulan nenek. Ternyata seperti itu rasanya.
"Kalau soal usia, aku memang lebih tua dari mereka, Nek. Tapi soal sabar, gak bisa dibilang sabar juga. Aku juga kadang marah, Nek. Aku juga kadang---"
"Tapi kamu sayang sama Daniel, kan?" Nenek memotong ucapan Janu. Hingga dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Iya, Nek. Aku sayang sama Daniel. Aku sayang sama semua sahabat-sahabatku, Nek."
Daniel tersenyum mendengar itu. Dia tidak menyangka bahwa Janu akan berkata seperti itu. Sangat mudah rasanya Janu mengatakannya. Mungkin jika Daniel ada di posisi itu, dia akan gugup mengatakannya.
"Bagus. Nenek titip Daniel ke kamu." Janu merasakan pundaknya dielus oleh Nenek. Tanggung jawab itu hanya diangguki oleh Janu setelah menatap Daniel sekilas dengan senyum.
Mungkin, saat ini tanggung jawab itu terlihat mudah untum dilakukan. Sebab masih ada nenek di sini. Semoga saja Janu benar-benar akan memegang tanggung jawab tersebut.
Untuk Daniel.
¶¶¶
Gerry terlihat sedang sendiri di bangkunya. Juga tidak ada siapa pun di dalam kelas. Dia datang terlalu pagi hari ini. Melihat itu, Dinda yang baru saja tiba langsung menghampiri Gerry, berniat untuk menghibur pacarnya yang terlihat murung.
"Dor!" Setelah berjalan mengendap-endap supaya tidak terlihat oleh Gerry, Dinda berusaha mengagetkan Gerry.
Namun, usahanya gagal. Ternyata Gerry sudah mengetahui keberadaannya. Dia hanya tersenyum tipis sambil menatap Dinda beberapa detik, lalu kembali melamun.
"Gerry, kamu kenapa? Lagi sedih, ya?" Tidak apa-apa dia gagal menghibur secara maksimal, Dinda langsung duduk di samping Gerry. Kemudian memiringkan kepala untuk menatap wajah Gerry. "Ada apa, Ger? Cerita yuk ke aku."
Gerry hanya tersenyum hambar, menunjukkan lesung pipinya. Kali ini Gerry benar-benar berbeda. Dia tidak menjawab sepatah kata pun.
"Ger ... kamu marah ya sama aku? Dari kemarin chat aku nggak dibales, telepon aku nggak diangkat, dan sekarang aku ajak ngomong secara langsung juga gak dijawab." Dinda mengeluarkan keluh kesahnya, berharap Gerry akan lebih pengertian. Dia tidak suka didiamkan begini dengan Gerry tanpa alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Novela JuvenilClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...