"Semoga ayah baik-baik aja."
"Semoga aku kuat dan gak nangis di hadapan mereka."
Dua harapan yang sejak tadi dilantunkan Gerry untuk dirinya sendiri dan Tuhan. Langkah kakinya berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya. Menelusuri lorong demi lorong di rumah sakit yang saat ini ditiduri ayahnya. Dia berharap untuk tidak menangis, tapi belum melihat wajah keluarganya saja matanya sudah berkaca-kaca.
Sejak kemarin malam dia memendam semua ini sendiri. Dia tidak menceritakan apa yang terjadi pada siapa pun, bahkan pada Alexi yang biasa menjadi teman curhatnya. Entah mengapa dia ingin menyimpan ini sendiri. Sendiri, bersama keluarganya juga.
"Mas Gerry!" Seorang gadis berambut panjang berlari ke arah Gerry dan langsung memeluknya. Dia tampak lega melihat kakak laki-lakinya datang luntang-lantung dengan seragam Pramuka yang bau.
Setelah membalas pelukan adiknya, Gerry menatap gadis itu dengan mata yang basah. "Di mana ayah?"
Berjalan beberapa belas langkah dan sampai di bangsal yang di dalamnya ramai. Tentu saja ramai, banyak pasien juga di dalam sana. Ayah Gerry bisa mendapat perawatan di kelas paling bawah saja sudah sangat bersyukur. Hei jangan lupa bahwa keluarga Gerry bukan keluarga terpandang, mana bisa memilih kamar kelas atas atau bahkan VIP.
Sudahlah, lupakan saja soal kamar.
Gerry berlari kecil pada ranjang yang ditiduri ayahnya. Pria yang semalaman dia doakan semoga baik-baik saja ternyata tidak sebaik-baik saja seperti ekspektasinya. Harapan-harapan dengan kata 'semoga' yang sejak tadi dia lantunkan ternyata juga tidak terwujudkan.
Menekuk lutut dan menyandarkan dada di sisi ranjang, kini Gerry menangis melihat ayahnya yang tidak membuka matanya saat dia ada sisinya. Gerry tahu, ayahnya sedang tidak sadarkan diri. Bahkan, ada selang oksigen di kedua lubang hidungnya.
"Yah, aku udah pulang. Ayah bangun dong!" rengeknya sambil menggoyang-goyangkan lengan pria itu. Sementara ibu dan adik perempuannya hanya menatap Gerry pilu dari arah sisi ranjang lainnya.
¶¶¶
"Janu, tolong ambilkan map di kelas Bu Yanti sebelah. Di lemari, ada map warna biru sama merah. Kamu ambil dua-duanya, ya!" Di tengah keheningan suasana kelas, Bu Yanti akhirnya bersuara.
Janu yang diperintahkan itu langsung berdiri dan bersiap untuk pergi. Dia tidak keberatan kok, toh malah enak bisa refreshing sebentar di luar kelas. Meski dia hanya diperintahkan untuk pergi ke kelas sebelah. Setidaknya dia bisa melihat suasana luar kelas yang cerah.
Mengetuk pintu karena ada guru yang sedang mengajar di kelas XI IPS-3 kemudian Janu memasuki kelas setelah guru tersebut mempersilakannya masuk.
"Janu ...."
"Hai, Janu!"
"Janu, kamu ngapain?"
"Janu tahu aja kalo kita lagu mumet gara-gara MTK. Kalau habis lihat muka Janu kan jadi semangat."
Begitu kurang lebih begitu yang didengar Janu ketika dia memasuki kelas. Sebagai siswa yang ramah dan tidak pernah mengecewakan para pengagumnya, Janu menanggapi mereka dengan senyum yang manis.
"Ken, minta tolong dong. Kamu tahu map biru sama map merah punya Bu Yanti, kan? Ambilin dong!" Janu yang saat ini berdiri di samping bangku Keana membuat para siswi lainnya histeris iri.
Sementara pemilik nama 'Keana' itu langsung mengangguk cepat dan berjalan menuju lemari Bu Yanti. Mengambil map yang dicari Janu. Kemudian memberikannya pada Janu yang tengah tersenyum manis. Keana sangat grogi, sebab laki-laki itu sekarang sedang berdiri di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Classy Bastard in Love [Tamat]
Roman pour AdolescentsClassy Bastard, itu nama geng kami. Bukan, kami bukan kumpulan geng motor, berandalan, atau lainnya. Bukan juga gengster yang memiliki banyak musuh dan dendam terhadap geng-geng lain. Nama itu kami buat hanya supaya terlihat mengerikan, kenyataannya...