Alinea Pembuka

5K 309 16
                                    

Langgam sibuk memangkas beberapa batang gardenia yang tua dan mati. Batang-batang tua akan dia stek untuk memperbanyak bunga favorit bunda dan iparnya. November sudah datang. Kabar jika hujan akan menjadi langganan kota itu sudah terdengar, bahkan sejak satu minggu belakangan. Nyaris dari sejak subuh tak henti menderas. Musim paling cocok untuk tanam-menanam dan paling cepat menghasilkan akar untuk batang-batang yang distek.

"Paket!" Suara kurir di halaman depan membuat gerak tangan Langgam berhenti.

Segera diletakkannya gunting kebun dan melepas sarung tangan untuk menemui kurir salah satu ekspedisi yang tarif layanannya lumayan mahal. Siapa pula yang mengirim paket dengan ekspedisi tersebut? Sesuatu yang pentingkah sampai menggunakan jasa paling cepat sampai?

"Untuk Mas Langgam." Sang kurir menyerahkan sebuah paket berukuran 14x20 yang cukup tebal. "Dengan siapa penerimanya, Mas?"

"Saya sendiri. Langgam Trisatya."

"Tolong tanda tangan di sini, Mas." Sang kurir menyerahkan selembar kertas dan bolpoin agar Langgam bisa menandatangani surat terima barang. "Terima kasih."

Langgam hanya mengangguk sebagai tanggapan. Setelah kurir beranjak dari halaman rumah, Langgam membawa masuk paket yang kemungkinan berisi buku. Siapa pula yang mengiriminya buku? Seumur-umur hidup, bahkan Langgam tidak pernah membeli buku secara online karena pria itu tidak doyan membaca.

Lebih dulu dia rapikan peralatan berkebun dengan meletakkan di gudang, sedangkan batang-batang gardenia disimpan untuk dia stek nanti sore.

Begitu sampai kamar, Langgam segera membuka paket yang berasal dari S. Tika. Beralamat tidak jauh dari tempatnya tinggal. Masih satu kota, katakanlah begitu.

S. Tika? Siapa? Apa dia punya teman dengan nama itu?

Tidak ingin menduga terlalu jauh, Langgam segera membuka lapis demi lapis paket tersebut. Benar. Di dalamnya terdapat sebuah buku, novel lebih tepatnya; Selembar undangan pernikahan atas inisial S dan R; Sepucuk surat beramplop kuning.

Lebih dulu Langgam mengecek undangan pernikahan. Tatapannya melebar begitu membaca nama lengkap pemilik sekaligus pengirim undangan yang tidak lain adalah teman lamanya.

Swastika Anjani Mariadi
Dengan
Ramadhika Putra Agung

Akad dan resepsi akan dilaksanakan pada hari yang sama, kurang dari satu minggu lagi.

Usai mengecek undangan, Langgam membuka amplop kuning yang bahkan tidak terlem. Sebuah surat yang tampak biasa saja tertulis di atas kertas polos, sepertinya HVS, sebanyak dua lembar full.

Untuk Langgam Trisatya,
Masih ingat denganku, Lang? He he he, semoga masih ingat, ya. Soalnya kalau kamu enggak ingat, aku bisa patah hati. Becanda, ding. Aku enggak akan mempermasalahkan kamu mengingatku atau enggak. Biar bagaimanapun, Swastika Anjani bukanlah wanita yang bisa diingat kapan pun.

Lang, aku mohon jangan tertawa setelah kamu membaca surat ini, ya. Isinya memang sangat konyol, tetapi aku ingin tetap menyampaikan karena aku enggak mau terus-menerus menyimpan kebohongan.

Kamu ingat enggak saat aku bilang ikut give away sebuah buku, beberapa tahun lalu, di mana aku minta nomormu karena berhasil memenangkan give away itu? Aku setengah berbohong kalau bilang aku menulis tentang kamu sebagai teman yang unik, konyol, jorok, dan terkadang omes. Aku tidak menulis tentang itu, Lang. Aku lupa, sih, kalimat lengkapnya bagaimana. Yang jelas, inti dari uraian yang kubuat adalah bahwa kamu sosok berharga yang dikirim Tuhan untuk mewarnai masa-masa SMA-ku. Kamu pelajaran pertama yang Tuhan kasih untuk menyadarkan kalau aku masih anak manusia yang bisa merasakan suka ke seorang pemuda. Ya, meski cuma suka diam-diam dan tak berbalas, aku tetap menjadikannya sebagai berkah tersendiri.

Untuk beberapa masa aku menganggap pertemuan kita sebagai sebuah kesialan. Bertahun-tahun satu atap, aku hanya bisa dekat denganmu sebagai seorang teman. Kadang aku ingin jujur dan mengungkapkan kalau aku suka kamu, Lang. Tapi, yang namanya perempuan selalu kalah dengan rasa malu. Aku terlalu malu untuk mengungkapkan kalau aku suka kamu, Lang.

Suka? Salah, Lang.
Aku pikir hanya sekadar suka, tetapi setelah tahun-tahun terlalui aku sadar bahwa aku jatuh cinta. Iya, Lang. Aku jatuh cinta ke kamu.
Ih, menggelikan, ya? Siapa aku, sih, kok berani-beraninya suka kamu, ya, Lang?
Kamu yang bagaikan elang dengan sayap gagah siap melangit dan menjelajah seluruh cakrawala. Sementara aku cuma cacing yang bisanya sembunyi di bawah tanah. Se-insecure itu, Lang, untuk mengaku kalau aku suka kamu. Ya, mau bagaimana lagi? Enggak ada hal yang bisa aku banggakan buat pamer ke kamu.

Kalau saja bisa memilih, Lang. Aku enggak mau menaruh suka ke kamu. Cuma, siapa, sih, yang bisa memilih kita mau jatuh cinta ke siapa? Enggak bisa kita merencanakan 'o, besok aku mau suka ke Langgam, ah' atau 'o, lusa aku mau suka ke Kak Agam, ah'. Kan, enggak begitu.

Delapan tahun aku memendam semuanya, Lang. Delapan tahun aku berusaha untuk mengeluarkan namamu, tetapi gagal. Lagi dan lagi kamu selalu hadir di mimpiku. Seperti mengingatkan kalau 'Langgam itu enggak boleh kamu lupain, Suwa.'

Pada akhirnya aku menyerah. Aku tetap menyimpan namamu dan mencoba berdamai untuk tidak melupakan, tetapi tidak pula mengingatmu. Sampai kemudian Tuhan mengirimnya untuk mengobati semua luka dari cinta tak berbalas yang selama ini menimpaku.

Kenapa aku menulis surat ini? Kenapa aku mengirimkan buku itu? Karena aku ingin mengatakan kalau aku sudah baik-baik saja. Karena aku ingin kamu tahu kalau kamu sudah mengabadi dalam karyaku. Kamu ingat kalau aku akan jadi penulis keren, 'kan? Nah, masa seorang yang mengaku penulis tidak mengabadikan sosok yang pernah berharga dalam hidupnya? Salahmu, loh, Lang sudah bertemu dan berteman dengan orang yang berencana akan menjadi penulis keren.

Aku bersyukur kita pernah saling mengenal, Lang. Aku sangat bersyukur sekalipun ada luka yang tertinggal. Maaf, ya, kalau ini mengganggumu. Maaf kalau pengakuanku ini membuatmu ingin terbahak. Aku hanya ingin melegakan pencapaian yang sudah kudapat sejauh ini.

Tolong jangan membenciku karena sudah mengaku pernah menyukaimu, ya. Sukses selalu untukmu. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkah-Nya kepadamu. Dan semoga Tuhan segera mempertemukanmu dengan wanita paling baik menurut-Nya.

*Maaf kalau surat ini terlalu panjang. Anggap saja kamu sedang membaca cerpen dari penulis terkenal, ya.

Swastika Anjani Mariadi

Suwa? Apa yang kamu bicarakan, Wa? Ini ... bagaimana mungkin?

"Dek?"

Langgam menoleh ke arah pintu. Bunda berdiri di sana sembari tersenyum.

"Paket dari siapa?"

"Seorang teman lama."

"Teman spesial?"

"Langgam sudah menyakiti satu perempuan baik hati, Bund."

Bunda masuk dan duduk di samping kanan. Tatapannya tertuju ke dua lembar kertas HVS di tangan Langgam. "Boleh Bunda ikut baca?"

Tanpa menjawab, Langgam menyerahkannya. Dengan perlahan, Bunda membaca kata per kata dalam surat kiriman Swastika Anjani.

"Enggak ada yang tahu bagaimana alur Tuhan untuk setiap hamba-Nya. Hari ini kamu melakukan kesalahan, maka esok kamu tidak boleh melakukan kesalahan yang sama." Bunda kembali melipat surat dan memasukkannya ke amplop kuning lalu menepuk-nepuk pelan bahu Langgam. "Tuhan tidak akan pernah salah menempatkan setiap makhluk untuk menjalani sebuah siklus kehidupan."

Langgam tertunduk. Rasa amat bersalah menyergap dada bidang pria yang dalam dua bulan akan genap berusia dua puluh delapan tahun. Bagaimana bisa dirinya begitu bodoh? Bagaimana bisa dirinya tak mampu membaca kode-kode Swastika?

Maafkan aku, Suwa.
***

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang