Alinea Kelima

1.3K 171 19
                                    

Langgam kembali tersenyum. Rasa hangat yang sama saat kembali bertemu Swastika beberapa jam lalu kembali muncul di dadanya. Tidak pernah menyangka bahwa cowok kurus itu berhasil menjadi orang spesial untuk seseorang.

Kamu tahu, Suwa, kenapa aku memintamu bernyanyi? Sejak hari kamu menyanyikan lagu itu, aku selalu ingin mendengar lagumu. Aku selalu ingin mendengar nyanyianmu.

Astaga! Kenapa aku baru sadar? Suwa sudah memikatku dengan caranya sejak hari pertama kami berkenalan.

Langgam menghentikan sejenak bacaan. Suara Bunda dari arah ruang makan sudah terdengar. Tidak boleh ada yang melewatkan acara makan malam bersama. Terlebih semua penghuni sedang ada di rumah.

Langgam bergegas menuju ruang makan. Sudah ada Ayah, Bunda, Sekar, dan Mas Abi--suami Sekar. Rupanya dia yang terlambat. Terlalu asyik membaca buku pemberian Suwa, membuatnya agak lupa waktu.

"Tumben enggak langsung keluar pas Bunda panggil-panggil, Dek?" Bunda menuang air ke gelas di hadapan Langgam.

"Keasyikan baca, Bund." Langgam meringis singkat.

"Ho ho. Keajaiban apa ini? Sejak kapan Langgam jadi suka baca?" Mas Abi berkomentar setelah menyuap sesendok nasi dengan irisan tumis daging.

Semua orang rumah tahu kalau anak bungsu keluarga itu sama sekali tidak doyan membaca. Satu tahun sekali bisa mengkhatamkan satu buku dengan ketebalan 200 halaman ukuran 14x20 sentimeter saja sudah untung. Langgam lebih memilih membuat ratusan soal ujian Matematika daripada membaca satu buku, fiksi pula.

"Bedalah kalau yang nulisnya teman lama. Eh, teman lama atau ...."

Sekar menaikturunkan alis bermaksud menggoda iparnya.

"Apa, sih, Mbak?" Langgam mendengkus, sedikit sebal atas respons Sekar.

"O, yang penulisnya S. Tika itu?" Bunda yang sudah duduk di kursi dekat Ayah, ikut menimbrung.

"Tau enggak, Bund?" Sekar kembali mengambil komando. "Ternyata, S. Tika itu pemilik Lovely Cake and Bakery."

"Tempat kamu biasa beli samosa sama brownis kukus itu?"

Sekar mengangguk-angguk.

"Wah, betulan itu, Lang?" Bunda mengalihkan perhatian ke Langgam.

Langgam malah meringis sambil menggaruk kepala belakang

"Baru tadi sore Sekar tahu fakta itu, Bund. Ya, ampun. Enggak sabar buat mampir besok dan minta tanda tangan dia langsung."

Ya, Sekar sudah merencanakan ini sepulang dari Lovely Cake and Bakery tadi. Sangat bertekad untuk meminta tanda tangan langsung S. Tika alias Swastika yang ternyata sering dia temui selama ini. Berkali-kali Sekar menepuk pipi saat Langgam memberi tahu kalau Swastika yang itu adalah S. Tika yang menjadi penulis.

"Boleh, 'kan? Boleh saya nanti minta tanda tangan kamu, 'kan, Mbak Tika?" Sekar memberondong usai membayar semua pesanan dan melanjutkan perbincangan dengan Swastika. Tepatnya, mengambil alih perbincangan yang seharusnya hanya Langgam dan Swastika yang mengisi.

"Panggil Suwa saja, Mbak. Sama seperti Langgam. Kan, saya dan Langgam satu angkatan. Umur kami sama."

Sekar mengangguk-angguk mengerti. "Pokoknya, mau, ya? Please!"

Langgam sampai geleng-geleng melihat kelakukan kakak iparnya. Persis ABG yang baru pertama kali bertemu idol mereka.

"Boleh, Mbak. Besok ke sini lagi saja. Bawa bukunya sekalian."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang