Alinea Kedua Puluh

842 84 13
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*

Dalam Bingkai Kenangan 10
"Jangan usil, deh, Lang!"

Seseorang menutup mataku dari belakang dengan kedua tangan. Tanpa melihat pun aku tahu siapa pelakunya. Langgam. Makhluk yang tidak pernah berhenti menjaili, terutama kepadaku. Parfum yang dia pakai sudah sangat aku hafal karena satu-satunya di kelas kami yang memiliki aroma tersebut. Aroma maskulin banget pokoknya.

"Kok, tau, sih kalau itu aku?" Langgam melepaskan kedua tangan lalu berdiri menyender ke taman mini sambil memperhatikanku yang sedang memberi makan anak-anak taman kelas kami.

"Taulah. Orang yang berani menjaili aku, kan, cuma kamu." Sebelumnya, aku sudah menyirami mereka meski mendung sudah memberi kabar di langit utara. Takutnya hanya kabar bohong. Sejak kemarin aku tak menyirami mereka karena mendung tebal yang menjadi kanopi di sekolah kami. Sayangnya hanya sekadar mendung yang tak membawa hujan turun.

"Kamu, tuh, kayak bundaku tahu enggak, Wa."

Aku meletakkan selang air begitu saja ke emperan lalu menatap lekat Langgam yang memasukkan kedua tangan ke saku celana abu-abu. "Bundamu?"

Dia mengangguk. "Bundaku juga sangat suka bertanam. Pokoknya, enggak boleh ada seinci pun tanah yang kosong di halaman rumah kami."

Aku sangat memahami pemikiran bundanya Langgam. Di rumah kami pun demikian. Tidak boleh ada tanah kosong atau menganggur. Pokoknya harus ditanami sesuatu.

"Halaman yang riuh oleh mereka itu menakjubkan, Lang." Aku mulai mencampur mol nasi basi dengan air.

"Itu apa, Wa? Baunya, kok, kayak tape, ya? Manis-manis gimana gitu." Langgam melongok ke dalam ember.

"Mol nasi basi." Aku mencampur setengah liter mol nasi basi dengan lima liter air bersih.

"Apa itu mol nasi basi?" Dahinya berkerut ingin tahu.

"Mikroorganisme lokal atau bakteri fotosintesis." Aku mulai menyiram per tanaman dengan campuran mol nasi basi dan air setakaran dua ratus mili.

"Gunanya?"

Ah, benar juga. Meskipun kami belajar Biologi, tetapi materi tentang ini belum kami pelajari. Sejauh, ini, sih aku tidak menemukan materi ini dalam buku ajar maupun LKS. Entah akan dibahas atau tidak dalam kelas, yang jelas di ekskul Berkebun, hal ini merupakan materi wajib yang harus kami pahami.

"Gunanya? Buat ngebantu tanaman dalam proses fotosintesis mereka biar lebih maksimal."

"Buatnya gampang enggak? Kalau gampang, nanti aku bikin juga di rumah buat tanaman-tanaman Bunda biar makin subur."

"Gampang banget, Lang." Aku senang melihat taman mini kelas kami yang sudah sangat rimbun. Mawar dan bugenvil sudah muncul bakal bunga. Tomat dan cabai rawit pun sudah berbunga. Lidah buaya dan rhoediscolor mulai menggemuk. Krokot mawar menjalar dengan sangat baik. "Kamu cuma perlu nasi basi, gula, dan air matang."

"Proses buatnya?"

Aish! Cerewet amat anak satu ini. "Masuk ke ekskul Berkebun makanya biar tahu!"

"Dih, pelit banget. Berbagi ilmu itu bagus. Amalnya ngalir terus nanti."

"Bayar, ya?"

"Kebiasaan." Langgam menyentil dahiku.

"Sakit, ih!" Aku hendak menepuk bahunya, tetapi cowok itu menghindar.

Langgam beralih tempat. Dia menyender ke tiang koridor yang mulai dirambati sirih merah dan hijau; saling berkelindan menciptakan warna yang cantik.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang