Alinea Pertama

2.9K 266 19
                                    

Bunda melongok karena pintu kamar Langgam terbuka. Perempuan yang baru genap berusia 57 tahun itu tersenyum begitu melihat Langgam sedang bersiap. Anak bungsunya tengah mematut diri, mengepaskan penampilan yang dari kacamata tuanya sangat memukau. Pria gagah bertinggi 187 sentimeter itu melapisi dada bidangnya dengan kemeja batik panjang dipasangkan dengan celana bahan warna hitam. Style yang bahkan sudah dimiliki Si Bungsu bertahun-tahun belakangan.

"Mau berangkat sama siapa, Dek?" Bunda akhirnya bertanya sambil melangkah menghampiri Langgam.

"Mau ngajak calon mantu Bunda, tapi belum ada yang mau. Gimana, dong?" Langgam menengok ke Bunda yang kini duduk di sisi ranjang.

Bunda terkekeh. "Kamu, sih, enggak mau cepet-cepet cari."

Langgam merasa semua sudah pas. Ya, setidaknya apa yang dia kenakan tidak begitu mencolok untuk dibawa menghadiri pesta pernikahan teman lama.

"Keburu ketikung, Bund." Langgam terkekeh.

"Sabar." Bunda mengelus punggung Si Bungsu. "Atau mau Bunda kenalin sama anak teman Bunda?" Ada kerling jail yang dikirim Bunda untuk menggoda Langgam.

"Entar Langgam cari sendiri aja. Langgam mau healing dulu."

"Iya, iya. Yang baru patah hati."

Getar panjang dari ponsel Langgam di atas meja menjeda obrolan ibu dan anak itu. Bergegas Langgam meraih dan langsung menyambut dengan menekan tombol telepon berwarna hijau. Sudah pasti sebuah panggilan, tetapi tak sempat dia tengok atas nama siapa caller id tersebut.

"Ya?"

"Mas, ini aku Laras."

"O, Laras. Kenapa, Ras?"

Laras adalah teman satu almamater Langgam di SMA, bahkan selalu satu kelas sejak kelas X. Laras, Langgam, dan Swastika. Mereka dari kelas yang sama selama tiga tahun di SMANCAP.

"Mas diundang Suwa, 'kan?"

Langgam mengernyit. Ada getar dalam suara tanya Laras. Seharusnya, perempuan ini bertanya dengan nada bahagia, 'kan? Sahabat baiknya akan menikah hari ini.

Bunda, dengan gerakan bibir, bertanya siapa dan apa.

"Laras, Bu. Teman Langgam waktu SMA. Teman Suwa juga." Langgam menjawab dengan menutup bagian speaker ponsel.

Bunda mengangguk-angguk sambil menunggu kelanjutan info yang sedang mereka bicarakan.

"Suwa ...."

Laras menggantung kalimat beberapa detik. Bahkan, Langgam kini bisa mendengar kalau perempuan yang sudah memiliki satu anak itu sedang menahan tangis.

"Ada apa dengan Suwa, Laras?"

"Mas enggak usah ke sini, ya. Pernikahan Suwa batal."

"Batal? Kok, bisa?"

Tangis Laras makin jadi di seberang sana. Kerutan di dahi Langgam mengundang keingintahuan Bunda lebih lanjut.

"Rombongan calon suaminya enggak ada yang datang, Mas."

"Kok, begitu?"

"Sepertinya kabur. Mereka membatalkan secara sepihak. Sudah, ya, Mas. Tadi Suwa minta aku untuk kabari ke teman-teman SMA yang dia undang biar enggak perlu datang lagi."

"O ... oke, oke. Makasih, Ras."

Langgam menatap kosong ponsel yang menggelap. Ada gemuruh amarah dalam dadanya saat mendengar keterangan Laras terkait kondisi Swastika. Tidak habis pikir, bagaimana bisa ada pria sejahat itu?

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang