Alinea Kedua Puluh Tiga

760 90 15
                                    

Sejak pagi, Swastika sibuk menyiapkan beragam hidangan untuk teman-teman lamanya. Perundingan yang mereka lakukan di ruang grup chat WA beberapa waktu lalu memutuskan kalau rumah Swastika akan dijadikan basecamp berkumpul. Dengan senang hati Swastika menyambut. Bahkan Mama dan Amanda--yang sejak akhir tahun sudah menginap--ikut membantu persiapan.

Laras yang mengusulkan untuk ke rumah Swastika. Selain memang memiliki spot yang enak untuk berkumpul, dirinya akan dengan mudah menitipkan Kanisya di rumah itu sehingga tak mengganggu waktu reuni. Kanisya akan sibuk bermain dengan keponakan Swastika dan membiarkannya having fun dengan para teman lama. Anan tak ikut karena harus menghadiri reunian dengan teman-teman masa kuliah. Sang suami hanya akan mengantar dan menjemput.

Baguslah! Laras lebih memilih hangout dengan Swastika daripada menemani suaminya bertemu teman-teman lama yang sungguh tidak asyik sama sekali dalam pandangan Laras. Apa yang mereka bahas kerap membuat perempuan itu planga-plongo tak paham. Jadi, daripada menjadi orang asing di tengah-tengah perkumpulan itu, lebih baik dia menjadi orang yang akan mem-bully Wawan dan Bayu. Ha ha ha. Rencana yang sempurna.

Laras datang lebih awal karena Kanisya sudah sibuk menggeret-geret agar bisa segera bertemu sang sohib sejak bayi. Tidak lupa membawa pesanan Swastika, yakni anggur merah, anggur hijau, jeruk kalengan, kelengkeng, dan strawberi untuk membuat dessert. Salah satu dessert andalan buatan Swastika yang sangat dia suka. Bahkan dengan tidak tahu malunya, Laras yang request dessert itu beberapa hari lalu.

Saat Anan menghentikan motor mereka di depan pagar rumah Mama, Resyakilla sudah duduk di undakan teras. Tentu saja menunggu tidak sabar kedatangan Kanisya.

"Ica!" Nah, 'kan? Sambutannya sangat ceria saat balita manis itu diturunkan dari motor oleh ayahnya.

"Eca!" Sebelas dua belas. Kanisya segera menghampiri sang sahabat lalu memeluknya, membuat Laras segera mengernyit. Adegan semacam itu seharusnya dilakukan oleh para ABG, 'kan? Apa balita zaman sekarang juga sudah melakukannya?

"Nanti chat aja kalau udah pada mau pulang, ya." Anan berpesan setelah memberikan kantong-kantong plastik ke Laras.

"Mas hati-hati. Jangan main macem-macem." Laras mengirimkan tatapan ultimatum.

"Kapan Mas pernah main macem-macem, hah?"

Laras segera meringis. Meski bukan laki-laki romantis, Anan adalah suami yang setia. Sepanjang perjalanan pernikahan mereka, tak pernah sekalipun Anan berbuat macam-macam. Bahkan memarahinya saja tidak pernah. Kerap selalu mengalah, begitu yang dikatakan Swastika setelah mengenal suami sahabatnya.

Laras sudah menemukan laki-laki yang tepat untuk mengayomi sisa perjalanan kehidupan.

"Salam untuk Mama, Abah, dan Suwa."

Laras mengangguk. Setelah mencium takzim tangan sang suami, Anan melajukan motor meninggalkan rumah Mama.

Sepertinya, pintu utama memang sudah dibuka sejak beberapa saat lalu. Terlihat suami Amanda yang sedang berbincang dengan para krucil saat Laras masuk.

"Ke mana orang-orang, Jan?" Namanya Fauzan, tetapi Laras dan Swastika selalu memanggilnya Ojan.

"Di dapur, Mbak. Biasa, sibuk ini dan itu."

"Kamu jagain dua krucil itu, ya. Mbak mau bantuin mereka."

Fauzan mengacungkan jempol. Sementara Laras bergegas ke dapur. Tampak meja besar di sana penuh bahan: paprika tiga warna, selada hijau dan merah, kol, tomat ceri, dan beragam bumbu yang entah apalah itu. Laras bukan tipe perempuan yang dapur banget. Dia hanya tahu beberapa bumbu dasar yang memang kerap digunakan untuk menu di meja makannya. Berbeda dengan Swastika dan Mama yang tahu segala ingredient, dari A sampai Z, dari lokal sampai interlokal.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang