Alinea Keenam

1.3K 141 12
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*


Dalam Bingkai Kenangan 3
Tatapanku mengernyit ke gerombolan cewek-cewek yang memenuhi meja Ayu. Ada apa, nih? Tidak biasanya anak X-4 sudah menggosip pagi-pagi. Karena rasa penasaran yang tinggi, maka aku menghampiri mereka.

"Ada apa?" Aku menyibak kerumunan dan menemukan mata Ayu sembap. "Loh, Ayu kenapa?"

"LKS Ekonomi-nya ketinggalan, Wa." Laras yang menjawab. Gadis itu berada di samping Ayu dan sedang mengelus-elus untuk menenangkan.

"Minta orang rumah buat anterin?"

"Enggak bisa, Wa. Enggak ada orang di rumah. Bapak dan Ibu, kan, ngajar. Mbakku masuk kuliah pagi."

Aku menepuk dahi. "Izin pulang lagi juga udah enggak sempat dan mana boleh."

Tentu saja. Di sekolah ini, kalau sudah masuk, ya, masuk. Tidak ada perkara izin pulang lagi untuk mengambil buku tugas murid yang ketinggalan.

"Weh, ada apa, nih?"

Aku menengok ke arah pintu. Langgam dan Bayu masuk bersamaan. "LKS Ekonomi Ayu enggak kebawa, Lang."

"Waduh! Kan, ada tugas dari Bu Iin, Wa."

"Maka dari itu." Hal yang ada dalam bayanganku adalah Bu Iin akan menghukum siapa pun yang tidak mengumpulkan tugas.

"Gimana, dong?" Ayu kembali terisak. Dihukum sendirian jelas bukan hal yang mengenakkan.

"Begini." Aku menatap satu per satu murid yang sudah datang--kayaknya udah datang semua, sih. "Gimana kalau kita sepakat bilang belum menyelesaikan semua PR yang Bu Iin kasih kemarin?"

"Maksudnya ... nemenin Ayu buat dihukum, nih?" Langgam memperjelas maksudku.

"Ih, pinter amat, Bapak Langgam." Aku menjentikkan jari. "Yang lain gimana? Mau ikut rencana itu enggak?"

"Aku okeh!" Langgam langsung setuju. "Paling, ya, kita disuruh lari keliling lapangan upacara."

"Okeh, deh. Aku setuju." Laras ambil suara.

Yang lain pun, tanpa keberatan, menyetujui untuk mengaku belum menyelesaikan tugas Ekonomi dari Bu Iin. Meski Bu Iin tegas dan cukup galak, kalau yang dihukum anak satu kelas, tidak mungkin hukumannya dengan berdiri di lapangan upacara sambil hormat sepanjang jam pelajaran Ekonomi berlangsung. Lah, nanti Bu Iin ngajar siapa?

Itu kenapa aku mengusulkan untuk semua mengaku belum selesai mengerjakan. Syukurnya, anak-anak X-4 tidak ada yang mengeluh, bahkan mendumal di belakang pun tidak. Meskipun sering berbuat onar dan membuat guru-guru frustrasi menghadapi kami karena tukang ribut di jam pelajaran, untuk urusan kebersamaan kelas, kami mau menanggung kesialan bersama.

Bel masuk berbunyi. Dua menit kemudian, Bu Iin masuk dengan wajah yang siap menagih tugas.

"Ayo, kumpulin tugasnya."

Nah, 'kan? Beliau ini tidak pernah basa-basi.

Aku menengok ke Langgam. Selaku ketua kelas, cowok itu yang harus menjelaskan rencana kami.

"Kenapa, Suwa?"

Aku terkesiap karena mendengar Bu Iin memanggil. Pergerakan tadi rupanya memancing fokus guru yang sangat suka memakai setelan dari atas sampai bawah berwarna senada. Selain, ya, bisa dibilang aku adalah tonggak yang diandalkan untuk menaklukan kuis-kuis dadakan yang sering Bu Iin berikan. Beliau sudah sangat mengenalku sejak berhasil menjadi satu-satunya murid di kelas itu yang mencapai nilai hampir sempurna pada ulangan beberapa waktu lalu.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang