Alinea Penutup

2.8K 168 65
                                    

Belasan purnama setelah hari paling menyakitkan.

Hujan dan kemarau masih silih berganti sesuai bulan. Tempo detik masih seperti saat Tuhan pertama kali menciptakan waktu. Hanya saja, berat tidaknya, lama cepatnya tergantung kondisi kejiwaan yang menyelami.

Tangis itu sudah reda. Duka itu bukan sepenuhnya berlalu, hanya menyingkir ke tempat yang lebih tersembunyi. Lara dan nestapa mulai pamit untuk menyilakan tawa bermain dengan pemilik pipi chubby yang tak tampak bertambah kerutan meski usia berbilang kepala tiga. Kepala tiga yang baru lewat beberapa minggu.

Langkah-langkahnya telah jauh lebih ringan setiap menapaki ubin-ubin koridor tempat wanita itu melatih ekskul Mading. Hatinya telah jauh lebih lapang dari belasan purnama kemarin. Ikhlas mulai dijadikan kawan karib untuk melanjutkan kisah yang bukan saja dimau Tuhan, tetapi lelaki yang mengiriminya surat paling 'manis' sepanjang hidup.

Tuhan memang mencabut satu kebahagiaan, tetapi menyiapkan ribuan kebahagiaan lain yang siap bersemi. Satu hal yang akan dipercayai wanita itu seumur hidup.

"Jadi, bagaimana? Sudah siap untuk bimbingan menulis novel?" Tatapannya memindai satu per satu anggota Mading yang disiapkan Bu Dini untuk memenuhi lomba khusus menyambut Bulan Bahasa.

"Siap, Mbak." Kelima gadis yang duduk saling berjauhan karena masih menerapkan social distancing itu menjawab serempak.

"Oke. Seperti yang Bu Dini bilang sebelumnya ke saya, lomba menulis novel tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Akan ada lima genre yang dilombakan sekaligus. So, kalian sudah siapkan masing-masing draftnya?"

"Sudah, Mbak. Kami sudah siapkan sesuai genre." Gadis ber-name tage Indira Mahesa Ayu menjawab.

"Good. Coba kalian ceritakan secara singkat draft kalian itu dan kira-kira kendala apa yang mungkin akan kalian temui." Sambil menyender di meja guru, wanita yang kerap menyanggul rambutnya dengan tusuk konde beronce mahkota bunga sakura itu meminta.

Satu per satu anggota mulai menceritakan draft sementara dari setiap novel yang akan dilombakan. Begitu telaten wanita itu mendengarkan setiap presentasi dan keluhan masing-masing perwakilan genre. Tidak mudah, apalagi ini pertama kali untuk mereka mengikuti lomba menulis novel sekabupaten. Tantangannya bukan hanya naskah yang akan dieksekusi, tetapi bagaimana mental mereka tidak mudah drop saat di tengah-tengah penulisan naskah mengalami writer block.

"Setiap selesai satu bab, kalian kirimkan ke email Mbak, ya. Biar Mbak bisa pantau perkembangan setiap naskah kalian."

"Oke, Mbak Suwa. Mohon bimbingannya." Lagi-lagi para gadis ini begitu serempak saat menjawab.

Cukup membuatnya geli sekaligus terharu.

"Sip. Kalian bisa pulang sekarang."

Satu per satu mereka keluar dari ruang kelas VII A yang dijadikan tempat berkumpul kali ini. Meski kelas telah kosong, wanita itu masih duduk di kursi guru. Mumpung mendapat pancaran WiFi sekolah, Swastika Anjani yang akrab disapa Suwa itu menyempatkan untuk membuka email dari notebook yang dia bawa. Beberapa inbox datang dari editor yang selama ini menangani naskah-naskahnya di salah satu penerbit besar negeri ini. Masih terkait hal yang sama ketika inbox-nya datang.

Naskahnya, loh, Wa.
Pak Riz udah nagih mulu ke aku.

Wanita itu beralih merogoh slingbag krem yang sudah tampak lusuh, tetapi masih nyaman dibawa ke mana-mana. Dikirimnya chat ke nomor sang editor begitu ponsel didapat.

Sudah ke email, Mbak.
Monggo dicek.
Jangan ngamuk mulu, entar cepet tua.
Jangan lupa cek dahi udah berapa kerutan di sana.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang