Alinea Keempat

1.7K 170 9
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*

Dalam Bingkai Kenangan 2
Sebagai puncak dari masa orientasi siswa, sekolah akan mengadakan perkemahan Sabtu-Minggu. Kali ini, acara camping tahunan tersebut akan diadakan secara outdoor. It's show time! Tidak ada hal paling menyenangkan dari dunia sekolah selain camping.

Sayangnya, lagi-lagi karena harus menunggu Amanda yang punya kebiasaan mandi sangat lama, aku hampir terlambat. Saat sepeda memasuki ruang parkir yang biasa dipakai parkir motor guru, ratusan murid sudah berkumpul di lapangan basket dengan beragam perlengkapan camping; ransel penuh muatan, tongkat Pramuka yang dicat hitam, lipatan tenda, dan beragam plastik snack untuk bekal peserta selama menginap di alam terbuka.

Aku masuk ke barisan paling belakang, di samping ... Langgam. Ya, ampun. Apa dia juga tadi terlambat datang?

"Kamu telat juga?" tanyaku, tidak memedulikan pengarahan Kak Agam di depan sana.

Dia mengangguk sembari meringis.

"Tukang telat, dasar!"

"Eh, sendirinya? Ngatain orang, kok, enggak becermin dulu." Tatapan galak Langgam menghampiri.

Aku mengacungkan dua jari, telunjuk dan tengah, membentuk huruf V.

Seseorang di belakang kami berdeham, mengingatkan. Aku dan Langgam kembali fokus mendengarkan pengarahan wakil ketua OSIS. Sebenarnya, pengarahan sebelum camping, ya, begitu-begitu saja: jangan lupa periksa barang-barang sebelum berangkat, jangan lupa stok obat-obatan setiap kelas dibawa, jangan lupa ini, jangan lupa itu.

"Jangan berebut masuk busnya. Jalan per barisan." Kali ini Kak Aditya yang mengintruksi saat kami hendak memasuki bus masing-masing.

Per bus diisi lima puluhan penumpang, sudah termasuk guru pengawas. Artinya dalam satu bus bisa diisi oleh satu kelas dengan tambahan setengah kelas. Untungnya, kelas kami tidak terpisah dan masuk ke mobil yang sama. Hanya saja, karena aku dan Langgam berada di barisan paling belakang, jadilah kami harus satu jok. Padahal sudah kuwanti-wanti si Laras untuk duduk dan memilihkan jok untukku juga.

"Makanya, jangan suka telat!" Gadis itu malah mencibir.

"Salahin, tuh, Amanda." Aku memberengut.

Ya, apa boleh buat. Semua sudah takdir, 'kan? Mau tak mau aku duduk dengan Langgam di jok dua.

"Lang, aku pinggir jendela, ya?"

"Boleh. Taro dulu ranselnya di belakang, tuh."

Aku beranjak ke bagian belakang bus untuk meletakkan ransel dengan tidak lupa menyematkan pita berwana biru terang sebagai tanda. Ya, siapa tahu ada yang matanya siwer lalu salah ambil tas, 'kan? Bukan tas sendiri yang diambil, malah tas orang.

Sesuai kesepakatan, aku duduk dekat jendela. Fyi, aku makhluk pelor yang bisa tidur di mana saja, terlebih saat melakukan perjalanan. Itu kenapa aku meminta dekat jendela agar memiliki sandaran saat nanti aku tertidur. Kan, agak bagaimana, ya, kalau sampai bersandar ke bahu Langgam. Tidak enak hati rasanya.

Aku membuka setengah bagian jendela bus agar angin bisa masuk dan pemandangan di luar sana terlihat jelas. Lokasi perkemahan yang akan kami tuju berada di kota tetangga, memakan waktu dua jam perjalanan. Sekalipun singkat, aku tidak mau melukai perjalanan ini dengan mabuk kendaraan.

"Mabukan?"

Aku menengok Langgam lalu menyeringai saat akan menenggak satu pil antimabuk.

"Kayak bocah."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang