Alinea Kedua Puluh Lima

739 87 23
                                    

Piring-piring bekas makan sudah dibawa ke dapur. Pemanggang sudah disimpan kembali ke tempat. Meja dan kursi sudah dibawa masuk dan ditata sesuai asal. Sambil menunggu para perempuan mencuci alat-alat makan yang kotor, Duo Omes dan Langgam mengajak Duo Krucil untuk bermain kembang api.

"Tapi, janji. Panggil Pakde, ya, ke aku?" Wawan melakukan penawaran sambil berjongkok di depan Duo Krucil yang menatap heran ... ah, bukan. Menatap penuh keterkaguman karena rambut kribo Wawan.

"Pakde Klibo. Begitu, ya?" Resyakilla menelengkan kepala, berusaha memahami maksud yang diminta Wawan.

"Pakde Ganteng, dong."

Wajah balita itu berubah drastis. Mengernyit penuh penolakan. "Enggak, ih. Pakde Klibo enggak ganteng. Enggak boleh dipanggil begitu. Kalau kata Bude, itu namanya enggak sesuai fakta."

Wawan menepuk dahi, Bayu terbahak, sedangkan Langgam menahan tawa sambil ikut berjongkok di depan Duo Krucil.

"Kalau ... Pakde?" Langgam agak ragu menyebut dirinya Pakde. Berasa tua seketika.

"Nah, kalo temen Bude yang ini boleh dipanggil Pakde Ganteng." Kanisya yang menyahut.

"Kalah kita, Bay. Kalah! Argh!" Wawan mencengkeram rambut kribonya.

"Kalau Pakde bisa, dong, dipanggil Pakde Ganteng?" Bayu pun ikut-ikutan berjongkok di depan mereka.

Duo Krucil kompak menggeleng.

"Pakde Gondlong." Resyakilla menambahkan.

Bayu terduduk lalu menendang-nendang udara.

"Ih, Pakde Gondlong cengeng! Kata Bude, kalau cengeng belalti bukan good boy."

Bayu malah mengerang. Gemas dengan tingkah kedua bocah itu yang sangat jujur.

"Ayo, kita main kembang api! Mau?" Langgam menawarkan.

"Mau, Pakde!"

Langgam menggamit keduanya lalu memilih ruang yang lebih lapang di halaman samping rumah untuk menyalakan kembang api. Bukan saja kembang api yang bisa dipegang anak-anak, mereka juga menyalakan kembang api yang bisa meluncur ke langit.

Satu letusan, dua letusan, menyusul beberapa letusan bunga api yang menyemarakkan langit di atas mereka. Duo Krucil sampai jingkrak-jingkrak. Meski bukan untuk pertama kali melihat benda ajaib tersebut, keduanya tetap merasa excited setiap melihat gebyaran kembang api memenuhi langit malam.

"Bagus, Pakde! Bagus sekali!" Resyakilla sampai bertepuk tangan saking senang dan gemasnya.

"Lagi, Pakde! Lagi!" Kanisya menyahut sambil menggoyang-goyang lengan Langgam.

"Oke!" Dengan senang hati pria itu mengikuti kemauan para krucil. Untung tadi Wawan dan Bayu membawa banyak kembang api yang memang sudah di-request Swastika dan Laras untuk menghibur anak-anak di rumah ini.

"Di kalangan mana pun, orang ganteng selalu menang." Wawan menceletuk sambil merebahkan diri di halaman berumput yang terpangkas rapi.

"Ya, mau bagaimana. Orang ganteng memang selalu punya daya tarik tersendiri." Bayu pun ikut rebah di samping Wawan.

"Udah cocok si Langgam punya buntut."

"Tapi, kok, ya, enggak nikah-nikah?"

"Masih nungguin Mbak Suwa." Wawan berbisik, khawatir terdengar si empunya nama.

"Emang udah peka dia untuk merasakan perasaan Suwa?" Bayu menatap tak yakin ke arah Langgam yang begitu santai berinteraksi dengan kedua balita yang masih bertepuk-tepuk histeris melihat semaraknya langit.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang