Alinea Kelima Belas

893 103 4
                                    

Langgam mengusap sudut mata yang refleks mengeluarkan bulir hangat ketika sampai di bab tersebut. Bab di mana dia mendapat kejutan ulang tahun ketujuh belas oleh Wawan and The Gangs. Sepanjang sejarah dia menjadi siswa, baru kali itu, baru saat itu dirinya mendapat ceplokan dari teman sekelas. Ya, tidak sekelas juga. Hanya beberapa di antaranya, tetapi telah mampu membekas di memori Langgam.

Dia ingat dirinya memfoto ekspresi Swastika saat kedua pipi chubby gadis itu penuh cemong adonan telur dan tepung. Bayangan wajah Swastika yang menahan mual muncul dari memorinya.

Foto? Ah, benar. Foto itu. Di mana dia menyimpannya? Ponsel yang dia pakai saat itu merupakan produk keluaran terbaru dari Nokia yang sudah memakai kartu memori. Langgam bukan tipe orang yang mudah berganti ponsel. Sejak SMA sampai hari ini, baru tiga kali ganti. Kartu memori lamanya masih tersimpan entah di mana karena Langgam tidak pernah membuang-buang benda semacam itu.

Satu per satu laci dari setiap lemari di kamar tidak luput oleh pemeriksaan Langgam. Namun, benda mungil itu tak kunjung ditemukan. Tatapannya amat frustrasi. Satu-satunya media yang menyimpan beragam kenangan SMA tersimpan entah di mana.

Seingatnya, Langgam pernah menaruh kartu memori tersebut di dalam laci meja belajar, tetapi bukan meja yang sekarang ada di kamar. Mungkinkah ....

Langgam bergegas ke kamar tamu. Tatapannya dibuat terkejut karena ruangan itu terasa begitu lapang. Tidak ada lagi meja belajar lamanya yang teronggok di sudut. Ke mana perginya?

Langkahnya kembali bergegas ke dapur untuk mencari Bunda. Jam menjelang makan malam begini, sudah pasti perempuan yang paling dia hormati sedang sibuk di sana bersama sang ipar.

"Bunda?" panggilnya di ambang pintu ruang makan.

"Ya, Dek?" Bunda yang sedang memanaskan sayur dan menggoreng tempe tepung segera menoleh ke Si Bungsu.

"Meja belajar Langgam yang lama ke mana? Yang di kamar tamu itu."

"O, itu. Ada di gudang, kok. Kenapa?"

"Kemarin-kemarin, Bunda rapiin kamar tamu, ya?"

"Iya. Sumpek soalnya. Udah lama enggak Bunda rapikan." Bunda mencicipi sayur yang meletup-letup di atas kompor.

Saat makan siang tadi, Ayah dan Abi memprotes kalau sayurnya kurang garam. Padahal, menurut lidah Bunda dan Sekar, asin sayurnya sudah pas. Yang salah lidah siapa di sini?

"Bunda nemu kartu memori enggak?"

"Kartu memori?" Bunda menghentikan gerakan mengaduk sayur lalu berpikir sejenak. "Kayaknya enggak, deh."

"Micro SD Sandisk, Lang?" Sekar yang sedang mengatur piring dan gelas di meja pun menyahut.

"Iya, itu, Mbak. Mbak Sekar nemuin?"

Sebelum menjawab, lebih dulu Sekar merogoh kantong baju tidur untuk mengeluarkan benda mungil itu. Sekar punya insting kalau dalam waktu dekat Langgam akan mencarinya, entah apa sebab.

"Ini, 'kan?" Sekar mengacungkan kartu memori tersebut sembari menaikturunkan alis.

Langgam bergegas menghampiri kakak iparnya. Sayangnya, tidak mudah bagi Langgam mengambil benda tersebut dari tangan Sekar.

"Ada syaratnya kalau kamu mau ini."

"Syarat apaan?"

Sekar berpikir sejenak. Hal apa yang paling ingin dia tahu dari hubungan Langgam dan Swastika di masa lalu sampai Langgam menyimpan banyak foto Swastika?

"Hm ... bagaimana kalau kamu ceritakan tentang dirimu dan Swastika? Kan, kamu belum bolehin Mbak buat baca buku itu. Enggak apa-apa, deh, Mbak tunggu sampai tahun depan. Tapi, Mbak ingin dengar langsung kisah kalian dari mulut kamu."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang