Alinea Ketujuh Belas

847 102 6
                                    

Mendung kembali bergulung saat Swastika melangkah memasuki SMP. Beberapa kali menyapa guru yang dikenalnya, yang kebetulan berpapasan di koridor atau di ruang guru saat Swastika meletakkan pesanan Bu Dini. Beliau sudah mengirim chat sebelumnya agar Swastika meletakkan kue-kue pesanan di meja kerja. Sekaligus memberi tahu wanita itu kalau dirinya sudah di ruang Kepala Sekolah.

Setelah mengetuk pintu ruang Kepala Sekolah dan mendengar sahutan dari dalam, Swastika membuka pintu yang sudah berubah dari terakhir dia melihat. Tentu saja. Sudah belasan tahun dia tak ke sana. Waktu dan keadaan sudah banyak mengubah furnitur dari tempat ini.

"Nah, ini dia, Pak. Pelatih baru Mading yang mengusulkan anak-anak untuk mulai membuat majalah terbit." Bu Dini menyambut saat Swastika masuk.

"Monggo, silakan duduk, Mbak Suwa." Bapak Kepala Sekolah menyilakan.

Swastika duduk di samping Bu Dini, di seberang Kepala Sekolah. Mereka dipisahkan oleh meja kaca panjang. Sebelum wanita itu datang, Bu Dini sudah memberi tahu nama dan siapa Swastika.

"Jadi, bagaimana? Sistemnya akan seperti apa jika majalah terbit ini diadakan?"

"Majalah terbit akan cetak sebulan sekali saja, Pak. Setiap kelas wajib membeli minimal satu eksemplar. Dengan catatan, harga yang diperjualbelikan hanya sesuai dengan harga cetak. Dalam arti, pihak Mading tidak akan melebihkan harga untuk mendapatkan keuntungan. Kami tidak mau dicap sebagai organisasi yang mengambil keuntungan dengan adanya sistem ini."

Bu Dini tampak tersenyum. Bapak Kepala Sekolah pun mengangguk. Beliau setuju dengan usul Swastika. Meskipun kesannya membeli, tetapi uang yang diberikan kepada pihak Mading bukan dengan kelebihan harga di mana keuntungannya masuk ke kantong mereka.

"Lalu, untuk sistem terbit dan cetak, bagaimana?"

"Kami akan membuat tim khusus untuk majalah terbit yang terdiri dari editor, proofreder, layouter, dan desain cover. Untungnya ada anak Mading yang bisa menggunakan desain grafis, jadi ini akan sangat memudahkan kami."

"Untuk karya, bagaimana?" Masih Bapak Kepala Sekolah yang bertanya.

"Karya-karya yang akan masuk ke majalah terbit bukan hanya dari anak-anak Mading saja, Pak. Yang lain pun yang tertarik dengan dunia literasi, sangat diperbolehkan untuk ikut. Jika layak baca, kami akan terbitkan. Jadi, kami akan menggunakan sistem seleksi untuk menyortir karya-karya mana saja yang akan terbit."

Bapak Kepala Sekolah merasa takjub dengan ide yang Swastika ajukan. Bertahun-tahun mengepalai sekolah tersebut, belum ada yang seberani Swastika dalam membuat gebrakan di dunia Mading mereka.

"Bagaimana dengan pencetakannya?"

Swastika tersenyum samar. Sebelum mengusulkan hal ini, tentu saja dia sudah memikirkan semuanya.

"Saya punya kenalan percetakan dari kota ini. Kita bisa bekerja sama dengan mereka. Untuk menghemat biaya kurir pengiriman, saya bisa ambil majalah terbit yang selesai cetak ke kantor mereka nanti, Pak."

Bapak Kepala Sekolah tampak sangat puas dengan usulan Swastika yang sangat sistematis.

"Untuk pembayaran majalah per kelas, bagaimana, Wa?" Bu Dini yang kali ini bertanya.

"Untuk terbitan perdana, mungkin kalau memang bisa dan boleh, diakomodir oleh sekolah dulu, Bu. Karena kalau mengandalkan uang kas, rasanya tidak cukup. Kelas wajib membayar saat majalah diberikan. Jadi, nanti yang menagih iurannya anak Mading yang bertugas mendistribusikan ke masing-masing kelas."

Bapak Kepala Sekolah dan Bu Dini tampak mengangguk-angguk.

"Baik kalau begitu. Saya akan menyetujui kegiatan ini. Semoga dengan adanya majalah terbit, minat baca dan berkarya para siswa dan siswi bisa lebih baik."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang