Alinea Ketiga Puluh Lima

1.3K 108 2
                                    

Apa yang paling menyedihkan dari beragam kisah yang Tuhan ciptakan? Ialah kepergian yang diminta oleh kematian. Tak ada lagi benang yang bisa tersambung untuk tetap bersatu dalam fana ketika Tuhan sudah memutuskan untuk memisahkan antara manusia satu dengan manusia lain. Mutlak tak lagi bertemu. Pasti tak lagi mampu bertatap.

Terkadang, kenyataan memang akan semenyakitkan itu. Tidak peduli kita telah menjadi orang sebaik-baik orang, ada saja kepahitan hidup yang harus tertelan. Bahkan mungkin, orang paling baik adalah mereka yang paling sering menelan pil pahit untuk menjadikan mereka lebih kuat sepanjang hidup di dunia.

Swastika bersimpuh di sana dengan bekas air mata memenuhi pipi. Gundukan tanah merah di hadapannya tampak masih basah. Hanya taburan bunga tujuh rupa yang mulai layu sebagian. Nisan bernamakan Ramadhika Putra Agung sukses mematahkan sejadi-jadinya kepingan hati yang setahun terakhir dirinya jaga untuk tidak terluka.

Tidak ada luka paling dalam dari perpisahan karena kematian.
Tidak ada patah paling menyakitkan dari kepergian sang kekasih ke hadapan Tuhan.
Tidak ada air mata paling menyedihkan dari melepaskan dia untuk tidur abadi.

Sekuat apa pun hati wanita paling tegar sekalipun, tetaplah perih menjadi saksi ketika mata hanya mampu melihat tanah basah yang menimbun segala kenang tentangnya. Setegar apa pun wanita paling kuat, air matanya tetap akan jatuh ketika bumi mengabarkan bahwa Tuhan tak menginginkan mereka bersatu untuk sisa perjalanan kehidupan.

Laras tak kuasa menahan tangis demi melihat keterjatuhan sang sahabat. Luka seluka-lukanya, begitulah yang ada di pikiran Laras tentang Swastika.

"Aku benar, 'kan? Aku benar, Rama. Kamu enggak sejahat itu untuk meninggalkanku cuma-cuma." Swastika mengelus lembut nisan Ramadhika. "Aku tahu kamu bukan lelaki pengecut yang akan mengingkari janji sendiri. Aku tahu kamu lelaki yang tidak akan menarik kata-kata sendiri."

Laras ikut bersimpuh di samping Swastika lalu mendekap bahu wanita itu.

"Aku benar, kan, Ras? Hatiku enggak akan pernah salah dalam menilai seseorang. Rama enggak jahat. Rama enggak seburuk itu. Rama punya alasan kenapa dia tidak jadi datang ke pernikahan kami."

Laras mengangguk-angguk tanpa suara. Isaknya tertahan demi terlihat tegar. Iya, dia harus tegar. Dia harus mampu kuat untuk bisa menguatkan Swastika.

Tidak jauh dari kedua wanita yang bersimpuh, Langgam hanya mampu menatap pilu. Bertahun-tahun mengenal Swastika, baru kali ini dirinya melihat tangis dari mata bulat wanita itu. Tangis yang sangat menyakitkan dadanya. Tangis yang sangat memilukan hatinya. Tangis yang sangat tidak ingin dia lihat, tetapi begitulah cara kerja hati seseorang untuk merespons kesedihan.

"Rama sengaja tak pernah menceritakan sakitnya."

Langgam menoleh saat mendengar suara laki-laki asing di samping kanan.

"Saya Raka, kakaknya Rama." Laki-laki yang tampak beberapa tahun lebih tua darinya itu mengulurkan tangan.

Sebagai bentuk kesopanan, Langgam menyambut ulur tangan perkenalan mereka.

"Saya Langgam. Teman lama Swastika."

"Meningitis yang diidap Rama sudah berlangsung setahun sebelum perkenalan mereka." Raka melanjutkan cerita. "Rama nyaris putus asa jika saja tidak menemukan tulisan-tulisan Swastika di Wattpad. Bagi Rama, setiap kalimat yang dihimpun Swastika dalam karya-karyanya sungguh mampu membangkitkan semangat sembuh pria itu."

"Rama tak pernah menceritakan tentang penyakitnya ke Suwa sebelum mereka menikah?"

Raka menggeleng. "Rama sedang bertaruh. Rama mempertaruhkan takdir yang dibuat Tuhan. Jika memang Swastika adalah jodoh sejatinya, maka dia akan diperkenankan sembuh dan pernikahan mereka akan benar-benar terwujud."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang