Hai, hai!
Puasa masih lancar enggak, nih?
Hari ini, Emaknya Mas Langgam mau kasih THR sebelum nanti benar-benar menghilang dari peredaran karena jatah extra part cuma beberapa aja yang di-up 🥰
Semoga senantiasa menyukai kisah mereka, ya. Terima kasih sudah menjadi saksi kisah Mas Langgam dan Mbak Suwa selama ini 🥰***
Satu bulan berlalu setelah hari bahagia mereka. Sore yang cerah di minggu pertama Juni. Langgam mengajak Swastika menengok perkembangan rumah baru. Hunian yang telah disiapkan Langgam bahkan sebelum pernikahan digelar. Proses pembangunan telah sembilan puluh persen. Mungkin, sebelum Juni habis, mereka sudah pindah. Rumah mereka. Hunian yang akan membawahi kisah mereka mulai sekarang.
Swastika menatap takjub dengan progres yang berjalan. Untuk pembangunan rumah dua lantai, bisa dikatakan prosesnya cukup cepat. Ada haru yang menyelinap ke balik rongga dada wanita yang sore itu mengenakan setelah celana palazzo panjang berwarna mocca dengan blus berlengan panjang dari wollycrepe berwarna hitam. Rambutnya dicepol asal dengan menyelipkan tusuk konde beronce bunga sakura. Serasi dengan celana kain yang dipakai sang suami, yang juga berwarna hitam. Jenis celana yang selalu dipakai saat pergi mengajar.
Sambil saling menggenggam, mereka menelusuri bagian halaman samping. Sudah lebih rapi ketimbang halaman depan yang disesaki material bangunan.
"Kalau kita kasih ayunan, bagus enggak? Buat main anak-anak." Tiba-tiba saja Swastika terpikir untuk membuat mini park di sana. Sangat lapang jika hanya dipakai untuk menyimpan koleksi tanaman bunga miliknya.
"Kalau menurutmu bagus, aku setuju saja. Kamu bebas mengatur mau membagaimanakan rumah ini."
Ada satu bangku besi panjang tersedia. Biasa dipakai para pekerja untuk ngaso di waktu-waktu tertentu. Berhubung saat itu kosong, Langgam mengajak sang istri menikmati sore di sana.
"Kamu selalu mengejutkan, Lang." Bagi Swastika, kehadiran Langgam beberapa tahun terakhir benar-benar mengirimkan banyak hal tak terduga.
Mulai dari kenyataan bahwa pria itu justru sudah menyukainya sejak lama sampai pernikahan di antara teman lama yang benar-benar terealisasi. Sekarang, kejutan lain dalam bentuk rumah baru telah pula dipersiapkan Langgam untuknya.
"Itulah fungsinya Mas Langgam terlahir ke dunia. Mengejutkan Mbak Suwa. Membuat Mbak Suwa berbunga-bunga."
"Enggak berbunga-bunga juga, sih."
"Masa? Enggak berbunga-bunga, tetapi setiap kutatap selalu wajahnya merah. Itu kenapa, hayo?" Langgam merunduk tepat ke wajah Swastika. Sengaja mencari tatapan wanita itu. Berusaha menggodanya.
"Ya ... itu karena ... kepanasan."
"Hatinya yang panas?" Pria itu mengerling-ngerling genit.
"Hatiku bukan panas, tapi hangat. Nyaman."
"Ya, kalau begitu jawabanmu, yang melayang ke langit ketujuh malah aku, Wa."
Swastika tertawa. "Jangan godain penulis. Ujung-ujungnya digodain balik, loh."
"Mentang-mentang penulis. Punya segudang kalimat untuk meluluhkan perasaan seseorang. Huh, curang!"
"Dan kamu punya segudang rumus untuk membuat formula agar aku selalu terkejut dengan tindakan-tindakan ajaibmu."
Langgam mengubah posisi. Duduk bersila menghadap Swastika. Mau tak mau, wanita itu pun mengikuti posisi yang sama. Mereka saling berhadapan. Lantas, untuk kesekian kali setelah mereka menikah, kedua tangannya menggenggam penuh tangan Swastika.
"Kita udah menikah, 'kan?"
Swastika mengangguk. "Terus?"
"Kita juga udah tidur bareng, 'kan?"
Swastika kembali mengangguk. "Lalu?"
"Kamu masih panggil aku Lang atau Langgam. Aku juga masih panggil kamu Wa atau Suwa. O, enggak juga. Aku pernah panggil kamu Sayang."
Swastika mengernyit. Tak bisa meraba ke arah mana obrolan mereka pada sisa sore hari itu.
"Kamu enggak mau kayak pasangan lain? Yang panggil istri atau suaminya pakai sebutan sayang. Bisa Honey, My Love, atau sejenisnya."
Swastika tertawa. Oalah, jadi suami tergemasnya itu mau juga dipanggil dengan sebutan sayang seperti kebanyakan pasangan lain.
"Memang, kamu mau dipanggil apa, hm?"
"Hm, apa, ya? Yang unik gitu. Pokoknya, yang spesial."
"Hm ... My Love?"
"Udah lumrah."
"My Honey?"
"Udah banyak yang panggil begitu."
"Terus, apa?"
Langgam terdiam. Berpikir. Tatapannya menemukan mutiara imitasi dari roncean tusuk konde di kepala Swastika. "Pearl. Aku mau panggil kamu Pearl."
"Pearl? Mutiara?"
Langgam mengangguk.
"Kenapa mau panggil aku Pearl?"
"Kamu seperti mutiara, Suwa. Mendapatkanmu enggak dengan jalan dan kisah yang mudah. Hampir-hampir aku meloloskan kesempatan itu. Selain, ya, mutiara adalah benda yang indah dan mahal. Untuk mendapatkannya, seseorang perlu menyelam di kedalaman samudra. Mutiara kan enggak bisa ditemukan di laut dangkal. Menemukanmu sama halnya dengan menemukan mutiara. Perlu banyak keberanian untuk menyelami dasar samudra yang dingin dan gelap."
Penjelasan Langgam sukses membuat Swastika mengulum senyum. Sedalam itu makna dari panggilan sayang yang dia sematkan kepada istrinya.
"Aku panggil kamu Liebe aja, bagaimana?"
"Liebe? Cinta dalam Bahasa Jerman?"
Swastika mengangguk. "Kamu cintaku. Teman hidupku. Teman lama yang sekarang menjadi suamiku. Pria yang berhasil membuatku jatuh cinta bertahun-tahun ke orang yang sama tanpa bisa benar-benar menghilangkan tentangnya sekalipun sudah ada yang baru."
"Liebe ... hm, boleh juga." Langgam mengelus-elus dagu yang mulai ditumbuhi jenggot tipis. "Pearl untuk Liebe."
"Liebe untuk Pearl."
"Kamu mutiaraku, Pearl."
"Kamu cintaku, Liebe. Selamanya. Atas izin Allah."
"Aamiin."
Petang semakin matang saat Langgam mengajak Swastika pulang. Alih-alih ke rumah Mama, Swastika meminta diantar berkunjung ke rumah Bunda. Mereka mampir ke Lovely lebih dulu untuk mengambil bingkisan: brownies, samosa, dan saus spageti untuk Juan. Setiap kali main, keponakan lelakinya selalu bertanya soal saus spageti. Jika ada bahan di rumah Bunda, Swastika dengan senang hati langsung membuatkan. Jika kosong, terpaksa mengambil dari stok beku di rumah Mama atau Lovely.
Hampir setiap Sabtu dan Minggu mereka bermalam di rumah Bunda. Sesekali mengajak serta Resyakilla dan Kanisya. Bunda tak keberatan. Justru ikut senang karena rumah semakin ramai sekaligus Juan mendapat teman bermain. Sudah lama Bunda mengidamkan rumah mereka ramai anak-anak. Cucu dari anak sulung Bunda sudah beranjak remaja. Mulai susah diajak kumpul keluarga karena sudah memiliki circle main sendiri. Begitu Resyakilla dan Kanisya muncul dalam sesi pertemuan mingguan mereka, Bunda langsung jatuh cinta. Tidak sungkan menemani bahkan terlibat langsung dengan permainan ketiga bocah itu.
Sangat menguntungkan Resyakilla dan Kanisya karena selalu dibawakan banyak hal sepulang kunjungan mereka ke rumah Oma Bunda--mereka sepakat memanggil beliau demikian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Lama
RomancePada akhirnya, setiap kebetulan hanyalah serangkaian takdir dari Tuhan untuk setiap anak manusia. Langgam mendapat kiriman surat undangan, sebuah novel, dan selembar amplop dari teman lamanya. Dalam amplop tersebut, Langgam dikejutkan oleh sebuah k...