Swastika memindai bagian depan SMP yang hanya satu-satunya junior high school di kecamatan dia tinggal. Sudah banyak yang berubah. Beberapa bangunan tampak baru berdiri. Taman-taman di depan ruang Kepala Sekolah jauh lebih terawat sekarang. Meski rasanya jauh lebih sempit dari saat Swastika masih menjadi murid sana.
Jam pulang masih lima menit lagi. Sengaja Swastika datang lebih cepat. Selain untuk menghormati kedatangan pertamanya sebagai pelatih, wanita itu ingin menyapa guru-guru di sana. Sejak lulus, sangat jarang sekali Swastika mampir. Paling-paling jika diundang sebagai alumni untuk ikut melantik anggota baru. Itu pun kalau waktunya sedang senggang. Saat masih SMA, Swastika masih sering mampir ke SMP. Namun, begitu masuk kuliah, lulus, dan langsung kerja, Swastika tidak punya kesempatan untuk menengok junior-juniornya.
Lama waktu berlalu, satu dua hal berubah, tetapi kebanyakan tidak. Ruang guru masih tidak pindah posisi. Kopsis dan kantin masih di tempat masing-masing, tidak berubah dari terakhir Swastika melihat. Hanya jauh lebih rapi dan mungkin agak diperluas untuk kantin. Pohon-pohon kayu putih makin besar dan tinggi menjulang. Banyak rumor beredar jika pohon-pohon itu 'berisi', tetapi Swastika tidak pernah merasakan atau melihat apa pun. Ya, Swastika sendiri memang bukan orang yang sensitif terhadap hal-hal supranatural.
Langkahnya terhenti sejenak di depan mading dekat Kopsis. Dari tata letak dan hiasan-hiasan, Swastika menduga jika tema yang ingin diangkat adalah musim semi. Banyak kepingan-kepingan mahkota bunga sakura yang terbuat dari kain dan kertas. Keren dan kreatif.
Puas memandang dan membaca karya anak Mading, Swastika melanjutkan tujuan ke ruang guru. Tidak banyak yang Swastika temui karena memang masih jam mengajar. Hanya ada beberapa guru muda yang tampak seusia dirinya. Waktu memang berjalan, 'kan? Sejak Swastika lulus dari sana, tentu banyak guru-guru baru yang masuk atau bahkan beberapa guru lama dipindah tugas ke sekolah lain.
Dari info yang didapat, Bu Dini masih mengajar di kelas IX. Swastika memutuskan untuk menunggu di depan ruang guru. Ada dua bangku panjang yang sejak dulu pun tersedia di sana. Sambil menunggu, Swastika memilih untuk melanjutkan ketikan naskah dari ponsel. Editornya sudah mulai menagih naskah baru wanita itu yang bahkan masih berjalan sepertiga bagian.
Bel berbunyi tak lama kemudian, cukup mengagetkan Swastika karena asal suara tidak jauh dari tempatnya duduk. Dari posisinya, Swastika bisa melihat langkah Bu Dini yang keluar dari salah satu deretan kelas IX. Deretan yang masih sama ketika dirinya di kelas IX dulu.
Tampak Bu Dini tersenyum begitu menyadari keberadaan Swastika. Dulu, Bu Dini sangat mengandalkan murid berkacamata itu untuk menyabet medali-medali kepenulisan yang rutin diadakan Dinas Pendidikan Kabupaten dalam berbagai rangka.
"Sudah lama nunggu, Wa?"
"Enggak, Bu. Paling lima menitan."
"Bentar, ya. Ibu taruh ini dulu." Bu Dini menunjuk buku paket Panduan Berbahasa Indonesia dan laptop.
Swastika mengangguk sembari tersenyum. Tidak lama, Bu Dini kembali keluar. Keduanya berjalan menuju sebuah ruangan yang dikhususkan untuk tempat latihan ekskul Mading. Ruangan yang nyaris sama besarnya seperti kelas dengan banyak komputer dan dua lemari. Pada zaman Swastika, ruangan ini tidak begitu luas. Bahkan, jumlah komputer tidak sampai tiga.
Beberapa anak yang sudah hadir tampak memasang wajah bertanya-tanya. Saling tengok ke teman masing-masing untuk mencari jawaban, siapa tahu mengenali sosok yang masuk bersama Bu Dini.
"Belum masuk semua, ya?" Bu Dini sangat tahu jumlah anak Mading. Yang sekarang hadir masih belum setengah dari jumlah keseluruhan.
"Belum, Bu. Beberapa masih ada yang harus piket kelas." Seorang gadis berkucir kuda menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Lama
RomancePada akhirnya, setiap kebetulan hanyalah serangkaian takdir dari Tuhan untuk setiap anak manusia. Langgam mendapat kiriman surat undangan, sebuah novel, dan selembar amplop dari teman lamanya. Dalam amplop tersebut, Langgam dikejutkan oleh sebuah k...