Alinea Ekstra 8: Kapan yang Menghantui

71 10 0
                                    

Swastika menghela napas setelah melingkari hari pertama haid. Lagi-lagi belum berhasil. Terhitung dua bulan setelah honeymoon mereka ke Alun-Alun Kencana. Rasa tak nyaman kembali terselip dalam hati. Kurang dari dua bulan lagi, mereka akan merayakan anniversary tahun pertama pernikahan. Wanita itu berharap bahwa kado yang akan diberikan kepada suaminya adalah kehadiran janin dalam rahim.

Melihat bagaimana siklus dan peluang yang terhitung beberapa waktu belakangan, Swastika mulai pesimis. Sebagian diri mulai khawatir bahwa bisa jadi dia benar-benar kurang subur. Sel telurnya tak bagus sehingga sulit dibuahi padahal sperma Langgam bisa dikatakan bagus saat pemeriksaan beberapa waktu lalu.

Untuk meringankan kemelut, Swastika memilih keluar. Menyambangi halaman rumah untuk mengecek kondisi koleksi mawar, sukulen, dan kaktus. Beberapa minggu belakangan, hujan mengguyur hampir setiap hari. Berimbas kepada koleksi mawarnya yang terserang black spot. Begitu pun koleksi mawar Bunda. Yang tak tahan banting justru harus meregang nyawa diserbu jamur.

Ada beberapa jam untuk mengurusi mereka sebelum siang nanti Swastika dan Langgam menyambangi rumah Bunda. Sekar dan Abi meminta Swastika menjadi koki dalam acara akikah anak kedua mereka. Bayinya sendiri sudah lahir sejak empat puluh hari sebelumnya. Anak perempuan yang begitu manis. Sangat mirip Sekar.

Pun, Langgam belum kembali dari masjid sejak subuh tadi. Mungkin berkeliling mencari sarapan karena sudah berpesan agar Swastika tidak perlu memasak mengingat kesibukan yang akan mereka hadapi di rumah Bunda.

Selesai menyemproti koleksi mawar dengan campuran fungisida dan abemektin serta menaburkan NPK, barulah Langgam muncul di depan gerbang. Menenteng kantong kresek hitam beraroma bubur ayam. Senyumnya melebar begitu menemukan Swastika hendak masuk sambil membawa peralatan berkebun.

"Istriku rajin sekali." Pelukannya langsung membekukan Swastika.

"Aku bau keringet, Liebe. Bau obat semprot juga." Swastika justru berusaha melepaskan diri.

Bukan apa-apa. Dia khawatir racun obat semprot yang menempel di bajunya malah berpindah ke baju Langgam.

"Enggak masalah. Nanti aku ganti baju lagi."

"Mentang-mentang nyuci sendiri. Sesukanya gonta-ganti baju."

"Iya, dong. Lagian, sekalipun kamu keringetan, wanginya tetep manis."

Swastika tertawa. "Gombalanmu makin mahir, Liebe."

"Biar bisa bersaing sama gombalannya penulis."

"Dasar enggak mau kalah." Swastika mencubit pelan suaminya. "Aku mencium aroma bubur ayam. Benar?"

"Hidungmu enggak bisa dikelabui." Langgam melesakkan hidung ke puncak kepala sang istri. Aromanya tak berubah. Wangi stroberi.

"Ganti baju, sarapan, terus ke rumah Bunda. Kita udah ditunggu."

"Padahal, aku pengen seharian sama kamu, Pearl. Di rumah. Nontonin kamu ngetik atau baca."

Swastika tertawa. "Orang ngetik kok ditontoni. Aneh kamu mah, Liebe."

Masih dalam posisi memeluk Swastika, mereka beranjak. Tersaruk-saruk wanita itu melangkah karena pria di belakangnya susah sekali lepas.

Untung suami sendiri. Kadung sayang. Kalau bukan, bogemku sudah mampir ke wajahnya. Dasar!

***

Bunda langsung membawa Swastika ke dapur untuk membantunya. Persiapan bahan sudah dilakukan sejak pagi. Khusus acara yang mengundang banyak orang, terutama kerabat, Bunda meminta bantuan salah satu tetangga untuk meng-handle beberapa hidangan. Swastika dikhususkan mengolah kudapan, pastel tutup, dan spageti; hidangan yang nanti disuguhkan untuk kerabat dekat dari pihak Sekar.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang