Alinea Kedua Puluh Empat

764 80 11
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*


Dalam Bingkai Kenangan 12
Pemilihan ketua OSIS baru selesai dilaksanakan. Yang akan menjabat berikutnya adalah Pandunata Wirayodha, anak ekskul PMR, meski aku belum tahu yang mana orangnya. Untuk wakil Ketos dipegang oleh Alhuda Zubair Halim dari ekskul Bulutangkis. Sekretaris dipegang oleh Rasyana Amira Hada dari ekskul Paskibra alias si Bulu angkatan Langgam. Sementara itu, bendahara akan dikelola oleh Nuruliyah Hasna dari Pramuka. Semuanya merupakan angkatan kami. Tentu saja. Diusahakan setiap perwakilan yang telah menempati kursi penting di OSIS akan memilih anak-anak kelas X sebagai anggota OSIS tetap selama periode Pandu. Selain perwakilan dari masing-masing kelas X, anggota OSIS lainnya akan dipilih dari masing-masing ekskul di sekolah ini.

Mbak Anggi sudah mewanti-wanti agar aku tidak menolak saat ditunjuk untuk mewakili ekskul Berkebun. Sementara dari pihak Mading, tadinya, aku mau diseret untuk menjadi calon ketua OSIS. Jelas saja aku tolak. Lah, seorang Swastika Anjani itu tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Jangankan mimpin seluruh organisasi di sekolah, mimpin satu kelompok saja kadang tidak becus. Pada akhirnya, Mading memilih tidak mengikutsertakan perwakilan. Padahal, aku pikir si Aji bisa maju, loh. Namun, para senior kukuh maunya aku, sedangkan aku kukuh tidak mau. Meski begitu, semisal aku belum ditunjuk untuk mewakili OSIS dari ekskul Berkebun, maka sudah pasti senior Mading yang akan memasukkanku ke sana. Nah, semisal tidak dari ekskul, maka aku berfirasat akan diseret Langgam mewakili kelas kami bersamanya.

Ujung-ujungnya aku harus masuk OSIS (lagi). Meski bukan pertama kali dan aku cukup tahu seluk-beluk tugas yang akan diberikan, tetap saja, masuk OSIS itu tidak selalu menguntungkan.

"So, siapa yang mewakili kelas X-4 ke OSIS, Lang?" Arum membuka diskusi.

Jam istirahat kali ini kami gunakan untuk menunjuk perwakilan kelas.

"Siapa yang mau kira-kira?" Langgam yang berdiri di depan kelas untuk memimpin rapat malah balik tanya. Tatapannya memindai masing-masing orang untuk mencari tahu raut mana yang cocok untuk jadi anak OSIS.

"Yang jelas jangan Wawan." Laras menyahut sambil mencomot tahu goreng yang tadi sempat dibeli sebelum rapat mulai. Masalah kecepatan berangkat ke kantin, Laras jagonya.

"Merendahkan amat kau!" sungut Wawan. "Tapi, kalau ditunjuk pun aku nolak, Lang. Males masuk OSIS. Ribet."

Sepakat. Ribet memang masuk OSIS.

"Suwa mau, ya?" Langgam mengirimkan penawaran kepadaku.

Aku menggeleng. "Aku udah mewakili Berkebun untuk masuk ke sana."

"Hm ... siapa yang mau kalau begitu?"

"Aku, deh, Lang. Mau coba jadi anak OSIS. Siapa tahu nemu jodoh di sana biar enggak dijodohin sama Ayah." Bella mengajukan diri.

Beberapa teman menahan tawa karena celetukannya.

"Oke. Dua lagi siapa?"

"Kamu? Kenapa enggak kamu aja, Mas?" Laras mengingatkan bahwa sejatinya ketua kelas bisa mengajukan diri masuk OSIS.

Langgam menggeleng. "Aku sudah perwakilan dari Paskibra."

Benar juga. Tentu saja Langgam harus masuk ke OSIS untuk memperkuat daya tarik dan kedudukan organisasi tertinggi di sekolah tersebut.

"Laras enggak mau?" Langgam menawarkan kepada teman sebangkuku.

Gadis ini menggeleng. "Sudah mewakili Pramuka."

Meski bloon begitu, Laras memang anak Pramuka yang teladan. Tentu saja dia akan diambil untuk mewakili Pramuka dalam OSIS menemani wakil lainnya.

"Banyak juga, ya, dari kelas kita yang udah masuk OSIS." Langgam mengelus-elus dagu.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang