Alinea Ekstra 4: Gagal Unboxing

229 45 11
                                    

Hai, hai!
Emaknya Langgam mau kasih takjil buat kalian 😆
Barangkali ada yang butuh manis-manis sedikit buat memulihkan kadar glukosa dalam tubuh. Silakan dinikmati, ya 😘

***

Pekarangan rumah Mama senyap. Tak ada lagi tamu undangan yang datang. Pihak keluarga pengantin laki-laki pun telah pulang. Menyisakan pelaminan kosong yang baru akan dibongkar besok pagi. Beberapa kerabat dekat masih mengisi kursi-kursi tamu untuk sekadar mengobrol menghidupkan malam sembari menunggu pagi. Tanggung kalau mau pulang. Toh, jatah kudapan masih tersedia banyak. Abah dan Mama pun meminta mereka untuk stay agar bisa membantu bongkaran tenda besok.

Menjelang tengah malam, di dalam kamar pengantin, mereka masih terjaga. Swastika memutuskan untuk membuka beberapa kado yang diberikan teman maupun guru-guru semasa sekolah. Menumpuk di sudut kamar. Dari yang kecil sampai besar.

Keduanya sudah berganti pakaian santai. Swastika mengenakan setelan piyama bergambar Teddy Bear, sedangkan Langgam memadukan kaos oblong dan celana kolor batik. Swastika tertawa saat melihat penampilan suaminya.

"Kenapa, sih? Ada yang lucu?" Pria itu mematut diri di depan kaca lemari. Rasa-rasanya tidak ada yang salah dengan set pakaian malam yang dia pakai.

"Baru kali ini lihat kamu pake kaos dan celana kolor begitu. Agak lucu. Kesan pak guru dengan kemeja dan celana kain langsung luntur seketika."

"Tapi, masih tetep ganteng, 'kan?"

"Ganteng se-X-4. Begitu kan katamu dulu?" 

"Masih inget aja." Langgam mendekati Swastika lantas duduk di belakang wanita itu. Memeluknya. Menghidu dalam-dalam aroma rambut Swastika. Wangi stroberi. "Kamu masih suka pake sampo anak-anak?"

Swastika mengangguk sembari kedua tangan sibuk membuka bungkus kado. "Selain wanginya enak, di rambutku juga cocok. Bikin halus. Coba aja sentuh."

Langgam menyelipkan kelima jemari di sela-sela rambut panjang Swastika. Benar. Helai demi helai di tangannya sangat lembut. Selesai menyelami rambut, Langgam kembali memeluk pinggang wanitanya. Dia benar-benar tenggelam di dada lelaki itu.

"Lucu, Lang." Swastika mendapatkan satu set cangkir teh lengkap dengan poci yang kesemuanya berbahan porselen bergambar Menara Eiffel: lima cangkir, satu poci, dan lima pisin.

"Dari siapa?" Langgam melongok melewati kepala Swastika saat wanita itu memperlihatkan sebaris nama yang terselip di kardus kado. "Teman kuliah."

"Bukan mantan?" Swastika menoleh. Tersenyum lebar untuk menggoda.

"Mana ada." Satu colekan lembut diberikan Langgam untuk hidung mungil Swastika.

"Mbak Sekar bilang, sebenarnya kamu itu populer." Diraihnya lagi satu kotak kado. Berbalut kertas mengilat berwarna merah muda dengan pita berbentuk bunga. Mengingatkan Swastika akan kado-kado ulang tahun Resyakilla beberapa waktu lalu. "Kenapa enggak pernah coba pacaran waktu itu?"

"Enggak ada yang menarik. Kan, perasaanku udah kamu tawan, Wa."

Swastika kembali menyemburkan tawa, tetapi buru-buru membungkamnya dengan kedua tangan. Ingat kalau Resyakilla dan Rajita--anak kedua Amanda--sudah tidur. Barangkali Mama dan Abah pun baru terlelap.

"Genitmu mulai, deh."

"Aku serius, loh."

"Satu pun enggak ada? Masa, sih?"

Langgam menggeleng. "Aku enggak kepikiran untuk pacaran saat itu."

"Aku tahu. Yang kamu pikirin cuma rumus, rumus, dan rumus. Enggak ada sisa di otakmu untuk mikirin cewek."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang