(Swastika's PoV)
*
*
*Dalam Bingkai Kenangan 5
Selamat Bulan Bahasa! Waktunya Swastika Anjani mulai bergelut dengan lomba-lomba kepenulisan. Akan ada beberapa lomba yang digelar Dinas Pendidikan Kabupaten untuk tingkat SMA dalam memeriahkan Bulan Bahasa. Dari sekian lomba, Bu Ida, selaku pembina Mading sudah menugaskanku untuk ikut lomba menulis novel, cerpen, dan resensi buku.Untuk lomba cerpen dan resensi buku, sih, tidak masalah. Aku sudah memiliki beberapa draft cerpen sebelumnya dengan beberapa genre. Tahun ini, genre yang diminta untuk kategori cerpen adalah teenlite tentang persahabatan. Untung saja aku punya simpanan cerpen dengan genre tersebut. Tinggal poles dan edit sedikit, beres.
Sementara resensi ... berhubung sudah banyak buku yang kubaca, ini kategori yang lebih mudah di antara dua lainnya. Aku hanya tinggal menyesuaikan dengan poin-poin yang harus diangkat dalam menulis resensi yang baik dan benar.
Tantangan paling menakutkan adalah membuat novel. Memang, sih, deadline-nya sampai 30 November. Waktu dua bulan untuk mengetik novel setebal tidak kurang dari empat puluh lima ribu kata bukan sesuatu yang terlalu buru-buru. Namun, ide untuk menyusunnya yang harus lancar. Kalau sampai terhenti di tengah jalan, writer block, mampuslah aku!
Belum lagi, genre yang diusung bukan genre yang biasa aku baca atau buat. Adventure-romance-fantasy. Gila! Aku harus banyak nonton film-film semacam Beauty and The Best kalau begini ceritanya. Untung bukan horor karena aku sangat tidak mumpuni di genre ini. Bukan karena penakut. Entahlah, aku tidak bisa mengembangkan ide kalau sudah horor karena aku tidak begitu tertarik dengan dunia supranatural, paranormal, dan antek-anteknya.
Aku datang terlalu pagi karena Amanda harus piket. Ya, kami hanya punya satu sepeda dan karena SMP Amanda dan SMA-ku berdekatan, jadilah kami selalu berangkat bersama. Gulungan mendung tampak di langit timur yang mulai menjalar ke selatan. Aku pastikan tidak lama lagi akan turun hujan.
Kelas masih sepi saat aku masuk. Setelah menaruh tas di bangku, kudekati jendela sisi utara yang menghadap langsung ke taman samping. Langit area sini masih sangat terang.
Fiuh! Mari kita melamun, Wa. Siapa tahu bisa dapat ide agar bisa segera mengeksekusi tantangan menulis novel itu. Untuk mendukung kegiatan melamun, aku memasang earphone dan menyetel dua lagu milik Gita Gutawa: Harmoni Cinta dan Kembang Perawan dalam mode putar ulang yang kubuatkan daftar putar khusus.
Semalam, aku kepikiran untuk membuat cerita ala-ala negeri dongeng Disney yang menyangkutpautkan malam dansa. Hanya saja, aku masih belum menemukan titik awal dan ending novel itu. Aku adalah tipe penulis yang lebih suka menentukan ending ketimbang awalan. Biasanya, kalau ending sudah pasti, untuk memulai dan mengurai konfliknya akan lebih mudah. Itu aku, ya. Entah kalau yang lain.
Sekalipun telinga disumpal earphone, aku masih bisa mendengar langkah-langkah yang masuk ke kelas ini. Seseorang agaknya baru datang, tetapi aku enggan untuk mengecek siapa. Memperhatikan rintik yang mulai turun jauh lebih asyik.
Seseorang yang baru datang itu langsung menghampiri posisiku, berdiri di samping kiri, lalu melepas sebelah earphone. Membuatku mau tidak mau mengecek siapa manusia iseng yang sudah mengganggu waktu semedi Swastika Anjani.
Tidak tahu apa kalau aku sedang mencari wangsit?
Rupanya Si Kerempeng. Cowok itu meringis saat kulayangkan tatapan tajam.
"Pagi-pagi, tuh, jangan kebiasaan melamun. Kalau kesambet, aku yang ikut repot nanti."
Aku mendecih. "Siapa yang melamun? Aku, tuh, lagi cari ide."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Lama
RomancePada akhirnya, setiap kebetulan hanyalah serangkaian takdir dari Tuhan untuk setiap anak manusia. Langgam mendapat kiriman surat undangan, sebuah novel, dan selembar amplop dari teman lamanya. Dalam amplop tersebut, Langgam dikejutkan oleh sebuah k...