Langgam menyender ke punggung kursi yang tinggi lalu meraup wajah. Senyum konyol muncul di wajah pria itu. Bahkan saat kembali membaca bagaimana Swastika mendeskripsikan tindakannya, Langgam merasa lucu. Sangat lucu. Astaga, betapa kekanakan dirinya saat itu.
Kamu kenapa, Lang?
Langgam mengulang berkali-kali pertanyaan Swastika. Mungkin jika Langgam ditanya langsung pada hari itu, Langgam tidak bisa menjawab. Pria itu belum memahami apa yang bergemuruh di dada. Namun, jika Swastika menanyakan hari ini, Langgam akan bisa menjawab dengan pasti. Dirinya cemburu. Cemburu karena mendengar jika Pandu naksir Swastika. Cemburu karena Swastika, lagi-lagi, didekati cowok yang lebih ganteng dari dirinya.
Konyol! Benar-benar konyol kau, Langgam!
Ketukan di pintu menyadarkan Langgam.
"Masuk!" Langgam menyilakan sembari menyimpan kembali novel Dalam Romansa Putih Abu-abu.
Seorang laki-laki melongok dari pintu yang terbuka. "Mas, mau diantar kapan yang lemari anak itu? Sudah ready antar."
"Harusnya bisa sore ini, tapi tunggu. Saya hubungi yang pesannya dulu." Langgam meraih ponsel di atas meja, mencari nama kontak Laras, lalu meneleponnya.
"Halo, Mas?"
"Halo, Ras. Lemarinya udah jadi. Niatnya mau kuantar sore ini. Ada di rumah?"
"O, ada, Mas. Ada. Nanti aku shareloc alamatnya, ya?"
"Okeh. Mungkin jam empatan aku ke sana."
"Siap."
Panggilan berakhir. Langgam segera mendapat notifikasi berupa rute lokasi rumah Laras. Sejak menikah, Laras memang langsung diboyong Anan ke rumah pribadi. Jadi, sudah tidak ikut mertua maupun orang tuanya.
"Siapkan saja nanti, ya. Kita berangkat jam empatan."
"Siap, Mas."
"Untuk yang set rak dinding, bagaimana?"
"Tinggal finishing. Mungkin tiga harian lagi selesai."
"Okeh."
Karyawan Langgam kembali keluar dengan tidak lupa menutup pintu. Ponselnya kembali bergetar, pertanda panggilan masuk. Nama Wawan Si Omes yang tertera di layar.
"Halo, Bro!" Panggilannya semangat '45 begitu tersambung.
"Kenapa?"
"Sibuk enggak? Bayu ngajakin ngopi di kafenya."
"Kamu yang bayar."
"Yaelah! Udah punya bengkel furnitur aja masih malakin anak orang."
"Ya, udah. Sendirian aja sana ke kafenya Bayu."
"Astaga! Dah kayak anak gadis kau suka ngambek. Iya, iya. Biar Mas Wawan Ganteng yang bayarin."
"Kapan? Kalau sore ini enggak bisa. Mau ke rumah Laras buat antar pesanan."
"Maleman aja. Jam delapanan, gimana?"
"Okeh."
"Nanti ku-shareloc rute kafe Bayu."
"Siap."
Panggilan kembali berakhir. Langgam mendesah. Sudah lama juga mereka tidak hangout bertiga. Zaman masih sekolah dulu, mereka tak terpisahkan. Ke mana-mana bersama, seperti halnya Bella dan Laras yang tidak akan lengkap tanpa Swastika.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Lama
RomancePada akhirnya, setiap kebetulan hanyalah serangkaian takdir dari Tuhan untuk setiap anak manusia. Langgam mendapat kiriman surat undangan, sebuah novel, dan selembar amplop dari teman lamanya. Dalam amplop tersebut, Langgam dikejutkan oleh sebuah k...