Alinea Ketiga

1.7K 187 15
                                    

Langgam tersenyum miris. Jelas dia ingat hari pertama di dunia abu-abu yang penuh kesialan. Seperti halnya Swastika, Langgam mengalami keterlambatan dan harus dihukum bersama Swastika.

Pada hari itu, Langgam tidak berpikir bahwa Swastika akan jadi gadis yang menyukainya. Seperti yang Swastika bilang, dia hanya cowok kerempeng yang tidak memiliki poin untuk disukai banyak gadis. Namun, kenapa Swastika sampai menyukainya diam-diam?

Tidak dipungkiri, gaya menulis Swastika sangat mengasyikkan. Langgam seperti diminta melihat setiap putaran kisah yang tercerita tercetak dalam imajinasinya. Kejumawaan gadis itu untuk menjadi seorang penulis keren tidak main-main.

"Langgam, aku akan jadi penulis suatu hari nanti. Jadi, kalau aku banyak melamun, itu bukan melamun yang tidak berfaedah."

Langgam selalu terbahak jika mendengar pembelaan diri Swastika terkait kebiasaan melamun gadis itu di kelas. Anehnya, tidak mengganggu sama sekali kepiawaiannya mengurai soal-soal rumit Fisika dan Kimia.

"Langgam, aku memang suka melamun, tetapi tidak saat guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas. Jadi, otak, mata, dan telingaku masih sinkron untuk menyerap ilmu."

Lagi dan lagi Langgam terkekeh mengingat pembelaan Swastika. Gadis itu selalu punya banyak alasan untuk melindungi kebiasaannya.

Jika diingat kembali, Swastika benar-benar gadis yang menyenangkan dan selalu apa adanya. Bahkan dalam beberapa kesempatan, dia selalu asal jeplak kalau bicara. Tidak melucu saja, apa yang dia ucapkan kerap mengundang tawa.

"Tolong, ya, Teman-teman. Calon penulis terkenal di masa depan ini butuh istirahat biar imajinasinya makin liar. Jadi, dengan sangat memohon, untuk jam kosong ini, kalian jangan kebanyakan ribut. Suwa mau bobo."

Biasanya, beberapa timpukan tisu dari teman cewek akan terlempar ke arahnya, tetapi tidak mengundang marah gadis itu.

"Dasar teman-teman minim kepedulian." Dia hanya akan menggerutu sambil menelungkup di atas meja.

Kenapa aku tidak menyadarinya, Suwa? Kamu gadis yang ternyata mengambil banyak memori di otakku.

***

Sekar mendatangi Langgam di bengkel furnitur yang adik iparnya dirikan beberapa tahun lalu. Selain mengajar sebagai guru di salah satu SMP kabupaten, Langgam memang mengembangkan minatnya dalam dunia furnitur untuk menjadi sebuah bisnis tambahan. Pangsa pasarnya sudah meluas, bukan hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke luar. Salah satu pebisnis furnitur di Korea Selatan telah bekerja sama dengan perusahaan Langgam sejak dua tahun terakhir.

Langgam tidak terkejut mendapati Sekar sudah menunggu di ruang kerja. Bukan untuk pertama kali kakak iparnya berkunjung ke bengkel Langgam. Bahkan sudah sangat sering karena lokasi Sekar mengajar bimbel ada di dekat bengkel furnitur Langgam. Sang adik ipar menduga kalau kakaknya tidak bisa menjemput sang istri dan meminta Sekar untuk diantar Langgam.

"Mas Abi enggak jemput pasti." Langgam meletakkan segelas es teh manis di meja depan Sekar.

"Tau aja." Sekar segera meraih gelas es teh manis yang sangat menggoda itu. "Anterin balik, ya?"

"Tapi, tunggu bengkel tutup."

"Enggak masalah. Mbak bisa boboan dulu di sini." Sekar menepuk-nepuk sofa berwarna nude yang menghiasi ruangan Langgam.

"Mau pesen makan enggak? Ada mi ayam Pak Marto, tuh."

"Mau! Pesenin, ya." Sekar menyeringai. Satu hal yang membuatnya betah menunggu Langgam di sana adalah mi ayam Pak Marto yang terkenal murah, enak dengan toping ceker, dan banyak. Kerupuk pangsitnya pun sangat gurih.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang