Alinea Kedua Puluh Satu

787 91 36
                                    

Langgam meraup wajah. Benar-benar merutuki ketidakpekaan perasaan sendiri. Jelas-jelas dia tidak merasa nyaman jika sudah menyinggung Kak Agam dan Swastika. Lagi pula, kalaupun dia peka saat itu, bukan berarti dirinya bisa berpacaran dengan Swastika. Saat itu, baik dirinya maupun Swastika adalah sosok yang lebih mengedepankan berjuang untuk prestasi daripada memikirkan hal-hal berbau romansa.

Kalau kamu peka, Lang. Empat atau lima tahun berikutnya kamu nyatakan perasaan suka itu ke Swastika. Ketidakpekaanmu yang berlarut-larut membuat kamu lupa untuk menengok lebih lanjut perasaan wanita itu.

Langgam yang bodoh.

Kembali disimpannya novel Dalam Romansa Putih Abu-abu ke laci di meja kerja. Langkahnya lantas beranjak keluar kamar. Hujan baru saja berhenti setelah sehari penuh mengguyur kawasan mereka tinggal. Menjelang petang begini, biasanya Bunda dan Sekar sedang mengobrol di ruang makan sembari menikmati camilan sore; samosa, brownis bertopping keju, atau pastel tutup yang semuanya dibeli dari Lovely Cake and Bakery.

Sayangnya, Langgam tak menemukan kedua perempuan itu. Ke mana perginya?

Saat menengok pintu samping yang terbuka, Langgam beranjak ke sana. Jika bukan di meja makan, maka keduanya berada di teras samping. Hanya ada Sekar yang duduk di kursi besi.

"Bunda ke mana, Mbak?" tanya Langgam masih di ambang pintu sembari memindai halaman samping.

Tanpa menengok ke arah sang ipar, Sekar menjawab, "Tuh! Lagi ngecekin anak-anak duri."

Langgam beranjak, meraih sandal yang tersimpan di rak khusus alas kaki di sebelah set meja dan kursi yang salah satunya diduduki Sekar, lalu menghampiri Bunda. Perempuan paruh baya itu sedang menatap sedih salah satu mawar yang daun-daunnya bule alias hijau pucat karena kekurangan klorofil.

"Kenapa, Bunda?"

"Ini kenapa, ya, Lang?" Bunda memegang salah satu daun yang berwarna pucat. "Sudah beberapa hari ini warnanya enggak hijau seperti daun yang lain. Padahal, udah Bunda pupuk sesuai aturan." Raut sedih Bunda begitu kentara. Beginilah jika beliau sudah sangat menggemari tanaman. Jika sesuatu yang aneh atau buruk terjadi, maka kesedihannya sama seperti saat anak sendiri yang mengalami hal buruk.

Langgam berjongkok untuk mengecek lebih teliti permasalahan yang dialami anak duri kesayangan Bunda. Setelah membandingkan dengan beberapa mawar yang juga berderet di samping mawar 'aneh' itu, Langgam menyimpulkan jika masalahnya bukan dari hama. Mungkin asupan nutrisinya ada yang salah atau kurang.

"Bunda masih pakai pupuk yang biasa, 'kan?"

Bunda mengangguk. "Masih, kok. Selang-seling per minggu antara NPK dan mol nasi basi."

Langgam tersenyum sekilas. Sejak Swastika memberi tahu tentang mol nasi basi, Langgam langsung membuatnya di rumah untuk kebutuhan nutrisi 'anak-anak' taman Bunda. Hasilnya? Menakjubkan. Semuanya tumbuh subur dan jarang terkena hama. Lalu, ada apa dengan mawar ini?

Ah, benar. Kenapa tidak tanya Suwa saja? Anak itu, kan, lulusan ekskul Berkebun. Mungkin tahu kenapa dengan daun mawar bundanya.

Langgam merogoh ponsel yang selalu dibawanya di saku celana. Mencari nama kontak Suwa di aplikasi WA lalu menelepon wanita itu.

"Nelepon siapa, Lang?"

"Suwa."

"Suwa? Buat?"

"Suwa mungkin tahu permasalahan yang mawar Bunda alami. Dia dulu anak ekskul Berkebun. Yang ngajarin Langgam bikin mol nasi basi juga, kan, Suwa."

Bunda ber-o ria. Ternyata, teman lama Langgam yang satu ini memiliki hobi yang sama dengan dirinya. Karena penasaran, Bunda memepetkan posisi ke sebelah Langgam lalu mencondongkan telinga ke ponsel Langgam, meski agak timpang karena tingginya dengan tinggi Langgam lumayan jauh berbeda.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang