Alinea Kedua Belas

1K 113 37
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*


Dalam Bingkai Kenangan 6
Ingat dengan rencana pembuatan taman mini di setiap kelas? Ternyata bukan isapan jempol. Kepala Sekolah kami benar-benar merealisasikan dan hasilnya sudah bisa dilihat saat ini. Bak yang terbuat dari susunan batu bata berplester halus itu siap untuk dipenuhi beragam tanaman, mulai dari hias sampai apoteker hidup. Semua bibit sudah disiapkan oleh tim ekskul Berkebun. Bahkan Bu Voni memberi tugas spesial agar tanaman-tanaman untuk taman mini kelas dikerjakan oleh anak-anak asuhannya.

Jelas aku sangat bersemangat untuk hal ini. Setidaknya, aku memiliki kekuasaan untuk memilih tanaman apa yang ingin aku taruh di taman mini X-4. Mbak Anggi saja sudah mendata tanaman mana yang ingin dia tanam di taman kelasnya. Pokoknya, aku tidak sabar untuk melakukan tugas ini.

Sebelum itu, kami harus mengisi bak-bak taman mini dengan media tanam. Pihak sekolah memang sudah menyediakan media tanam siap pakai. Hanya saja, aku mengusulkan ke Mbak Anggi kalau kami perlu tambahan simpanan kotoran hewan. Jadi, jika sewaktu-waktu tanaman kurang nutrisi karena kurang pupuk kandang, kami tinggal ambil dari simpanan. Mengolah kotoran hewan untuk siap pakai, kan, butuh proses yang lumayan lama. Selain itu untuk menghemat pengeluaran Berkebun agar dana dari sekolah dan kas kelas bisa digunakan untuk keperluan lain.

"Mau cari di mana emang? Mau kohe apa? Di sekitar sini juga enggak ada yang punya peternakan." Mbak Anggi menatap bingung kepadaku.

Hari ini kami latihan. Agendanya masih sama seperti kemarin-kemarin; mengecek bibit-bibit yang akan pindah tanam. Kemangi dan stek mawarku sudah rimbun. Sudah sangat siap untuk masuk ke taman mini.

"Aku ada tetangga yang ternak kambing, Mbak. Kemarin, aku juga udah minta izin untuk ambil kotoran mbek mereka."

"Diizinin?"

"Tentu, dong. Mereka malah nyuruh kita ambil sebanyak-banyaknya."

"Okeh, cus! Ambil sekarang aja. Rumahmu enggak jauh dari sini, 'kan?"

Aku mengangguk. "Mbak Anggi bawa motor, 'kan?"

"Bawa, kok."

Eh, kalau cuma pakai motor Mbak Anggi, kami tidak bisa bawa banyak. Paling cuma dua karung. Tidak cukup. Kami butuh lebih dari itu.

"Selain Mbak Anggi, ada yang bawa motor lagi?"

Mbak Anggi menanyai satu per satu anggota ekskul dan nihil. Hanya Mbak Anggi yang membawa motor.

"Minimal kita butuh dua motor, Mbak. Biar bisa bawa empat sampai lima karung."

"Jadi, gimana?"

Aku diam. Harus pinjam ke siapa, ya?"

"Bendera ... siap!"

Aku langsung menoleh ke arah lapangan upacara. Anak Paskibra sedang latihan di sana. Aha! Bukankah Langgam bawa sepeda motor sendiri kalau ke sekolah? Nyewa anak itu bisa kali, ya?

"Bentar, Mbak. Kayaknya aku punya temen yang bisa bantu kita. Sebentar." Aku bergegas keluar ruangan Berkebun untuk menemui Langgam. Semoga saja bocah itu ada di lapangan. Agak sungkan kalau harus menemuinya di basecamp mereka.

Saking buru-burunya, aku sampai menabrak seseorang. Sialnya, orang itu membawa gelas berisi air dingin yang tumpah ke T-shirt hitam yang kupakai--T-shirt khusus yang memang dibuat sebagai seragam latihan anak Berkebun. Ada aroma cokelat yang tercium. Wah, asem! Bukan air biasa yang tumpah.

"Maaf, maaf." Sialnya, air yang tumpah itu bukan cuma ke bajuku, tapi ke baju orang yang kutabrak. Asal saja aku usap-usap bagian bajunya yang basah dan bernoda.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang