Alinea Ketiga Puluh Dua

801 86 6
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*


Dalam Bingkai Kenangan 16
"Tetep agak kurang ruang, Lang. Butuh space lebih luas kita buat dansa." Arum memprotes.

"Jadi, gimana? Ke ruang seni? Lagi dipake buat latihan anak Padus, 'kan." Langgam menggaruk belakang kepala.

"Ke taman belakang aja. Kan, luas banget. Space-nya enak buat dansa, 'kan?" Aku mengusulkan.

"Nah, iya. Let's go ke sana!" Wawan sudah beranjak tanpa menunggu persetujuan yang lain.

"Let's go!" Bella, Laras, dan Bayu pun mengikuti langkah Wawan. Memang best partner mereka itu.

Jadilah kami latihan di taman belakang untuk kepentingan ballroom dance.

Persiapan pagelaran sudah hampir delapan puluh persen. Untuk para tokoh utama yang terlibat cerita, sudah hafal dialog. Aku takjub soal ini, apalagi untuk Wawan. Meski banyak yang dia improv, tetapi hasilnya justru jauh lebih enak didengar. Soal kostum dan atribut drama pun sudah selesai dikerjakan. Tinggal melancarkan gerakan dansa yang masih terlihat kacau apalagi untuk ballroom.

Karena bagian dansaku masih nanti, aku memilih duduk di bawah pohon jambu air yang mulai berbunga. Wah, dalam beberapa bulan ke depan bisa rujakan ramai-ramai, nih. Sambil menonton mereka praktik dansa, aku mencoba menghafal gerakan bagianku dan Langgam. Ya, setidaknya sampai hari ini, tubuhku sudah tidak sekaku pertama kali berdansa. Omelan Langgam juga sudah berkurang.

Sambil menyematkan earphone untuk mendengarkan musik dansa kami, aku membayangkan adegan tersebut. Sampai kemudian aku merasa seseorang duduk di belakang dan bersender ke punggungku. Dari aroma parfum yang menguar terembus angin kemarau bulan Mei, aku bisa tahu siapa dia. Dih! Sudah sembuhkah dari acara ngambeknya itu?

"Berat, ih!" protesku, tetapi dia tidak menggubris.

"Bentar aja. Pengen nyender. Capek."

"Kan, di sana ada batang pohon jambu. Bisa senderan ke sana, 'kan?"

"Enggak enak. Enggak empuk."

"Maksudnya, aku empuk dibuat sandaran karena gendut, begitu?" Ya, memang akhir-akhir ini berat badanku naik, sih.

Dia tertawa. "Kamu gendutan, sih. Diet sana biar aku gampang angkat kamu pas dansa."

Jujur sekali Anda, Pak!

"Diet itu menyiksa." Aku mendengkus. "Lagian, berat badanku masih di ambang normal."

"Normal apaan. Itu pipi makin luber."

"Masa?" Aku buru-buru meraba pipi dan menekan-nekannya untuk mengukur apakah benar benda ini bertambah chubby. Rasanya, sih ... iya. "Enggak apa-apa. Chubby adalah daya tarikku."

"Maaf."

Kata yang diucapkan Langgam barusan ... maaf? Lah, kenapa dia tiba-tiba minta maaf?

"Buat apa? Emang kamu bikin salah sama aku?" Hm, aku tidak yakin, sih, dia minta maaf untuk apa. Jangan-jangan untuk sikap tidak jelasnya beberapa minggu ini.

"Ya, pokoknya aku minta maaf."

"Minta maaf, kan, ada sebabnya, Lang." Godain saja sekalian.

"Ya ... pokoknya minta maaf, deh."

Dih, dasar! Malu-malu meong untuk mengakui yang sesungguhnya.

Aku menyandar penuh ke punggung Langgam sekarang. Wajahku mendongak untuk melihat biru langit dari sela-sela daun jambu. "Aku juga minta maaf, ya."

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang