Alinea Ketiga Puluh Empat

882 90 0
                                    

(Swastika's PoV)
*
*
*


Dalam Bingkai Kenangan 17
Langit masih gelap saat aku mengayuh sepeda membelah jalanan. Jika saja ini bukan tugas negara, mana mau aku sudah gowes sepagi ini. Bergelung selimut sampai Mama membangunkan adalah hal paling indah sepanjang libur panjang. Sialnya, aku malah terjebak bersama anak-anak baru itu.

Aku menemukan Langgam dan Laras sudah berdiri menjaga gerbang depan. Masih sangat sepi, Pemirsa. Tentu saja. Ini masih pukul setengah lima lebih sedikit. Anak-anak baru dijadwalkan datang pukul lima tepat dan tidak boleh diantar orang tua, kakak, atau adik. Ya, sama persis seperti kami dulu.

Aku bergegas meletakkan sepeda di parkiran khusus sepeda dekat lapangan basket luar lalu bergabung dengan Langgam dan Laras. Biar sajalah tas masih di keranjang. Nanti akan kuambil setelah bel masuk.

"Huf! Dinginnya." Aku mendekap erat-erat tubuh yang hanya berbalut seragam.

Sweater maupun jaketku sudah tak ada karena dicuci semua. Si Amanda yang sangat menyebalkan itu seenak jidat meminjami stok jaket di lemariku. Giliran aku butuh malah zonk.

"Pelukan, yuk, biar hangat!" Langgam menaikturunkan alis dengan senyum jail beraroma devil.

"Mohon maaf, ya. Saya bukan cabe-cabean yang gampang dipelukin cowok." Aku mencebik sekaligus menatap iri Laras dan Langgam yang sama-sama memakai jaket denim.

"Aku enggak mau kekurangan anggota pas Malam Penggalang karena ada yang jatuh sakit saking enggak tahan dingin." Langgam menyampirkan jaket denim miliknya kepadaku.

"Dari tadi, dong. Jadi cowok, tuh, begitu. Harus pengertian." Aku merapatkan jaket untuk menutup dengan sempurna tubuh kuntet ini. Eto ... tenggelam, ya, saya. Panjangnya sampai menutupi lutut.

"Buset, Wa. Tenggelem?" Laras menahan tawa saat melihatku.

"Jaketnya kegedean plus kepanjangan."

"Kamu aja yang kependekan." Langgam memulai peperangan.

"Aku cuma mungil, kok."

"Kuntet." Langgam mengoreksi.

Dasar tidak mau kalah!

Satu per satu anak baru berdatangan dengan berjalan kaki. Beragam perlengkapan aneh bin ajaib memenuhi tubuh mereka: topi dari ember bekas yang diberi rumbai-rumbai tali rafia tujuh warna, gelang dari permen di tangan kanan dan tutup botol di kiri masing-masing berjumlah tujuh, kaos kaki merah kanan dan kiri putih, rok rumbai tali rafia tujuh warna untuk perempuan, rompi rumbai tali rafia tujuh warna untuk laki-laki, dan papan nama dari kardus yang bertuliskan nama-nama karakter film fantasi. Lucu dan menggemaskan. Penampilan yang selalu menjadi menu wajib di sekolah mana pun, meski dengan model yang berbeda-beda.

Sepanjang menunggu anak baru berdatangan, beberapa kali aku menguap. Sampai Langgam beberapa kali menjewer telingaku agar kantuk menghilang. Tiada hari tanpa berbuat jail. Begitulah jalan ninja Langgam.

Untung ini hari terakhir kami mengawasi mereka. Senin nanti, semua akan kembali normal. Kami akan mulai berjibaku dengan tumpukan soal dan materi setiap hari. Beragam kesibukan ekskul pun siap menanti. Huf! Periode baru sudah menunggu untuk dieksekusi.

O, ya. Pembagian jurusan untuk kelas XI pun sudah diumumkan sejak beberapa hari lalu, tepatnya pada hari kedua MOS yang bertepatan dengan hari pertama murid kelas XI dan XII mengakhiri masa libur panjang. Aku masuk ke jurusan IPA bersama Bayu, Wawan, Bella, Laras, dan Langgam. Sampai detik ini, aku masih takjub dengan takdir yang bermain. Bagaimana bisa aku justru sekelas dengan mereka, orang-orang yang selama ini memang sangat dekat denganku? Lebih takjub lagi karena Bayu dan Wawan bisa masuk IPA. Bella dan Laras sampai terbahak saat membaca nama Wawan dan Bayu berada di kelas yang sama dengan kami nantinya.

Teman LamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang