⁰³. tiga

14.2K 1.9K 76
                                    

Jung Shareen.

Tidak banyak yang mengenalnya. Gadis bertubuh 165 cm dengan kulit pucat yang kentara. Tidak terlalu menonjol karena termasuk deretan siswi dengan bantuan sosial. Masuk ke dalam bantuan sosial bukan berarti dirinya orang tidak mampu, Papa angkatnya cukup kaya untuk membiayainya. Akan tetapi, karena tergolong gadis yang cukup pintar, dirinya mendapat beasiswa atau yang disebut sekolah gratis.

Ya, dirinya tidak terlalu mencolok. Selain anti sosial, Shareen adalah murid pindahan setahun lalu, jadi orang-orang tidak terlalu kenal atau peduli padanya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di lab biologi, mengerjakan tugas dan belajar. Setelah itu pulang dan bekerja di sebuah kafe dekat sekolahnya. Ibarat peran dalam sebuah film, Shareen hanya peran figuran, salah satu murid yang tidak penting dan tidak diketahui siapa pun selain teman-teman sekelasnya yang doyan meminta contekan.

Dia memiliki satu teman dekat sekaligus teman sebangku, Jungwon namanya. Cowok culun yang selalu menghabiskan waktu bersamanya. Jungwon pernah melakukan pertukaran pelajaran selama setengah tahun, dia kembali ke sekolah saat Shareen menjadi murid baru, sampai sekarang mereka berteman.

Shareen gadis yang lugu, atau dia selalu asal ceplos bila berbicara. Dia tidak ingin tahu banyak tentang orang-orang di sekitarnya. Dia gadis yang suka mengulas senyum pada siapa saja, bertindak ramah, bersikap easy going, dan membantu seseorang yang membutuhkannya. Selagi dia bisa menolong, dia akan menolongnya.

Itu sebabnya, Shareen tidak bodoh menyadari bahwa situasinya cukup pelik untuk dia hadapi sekarang.

Seorang cowok tak dikenal, yang membuat otaknya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya berada di dekatnya. Seumur hidup, Shareen hanya menonton adegan pembunuhan dari televisi. Tapi lihatlah, beberapa menit lalu dia baru menyaksikannya secara langsung. Di mana pisau tertancap di perut sang korban, lalu si pelaku menyayat kulit korban. Shareen sangat sadar, dia dalam kondisi bahaya sekarang.

"Jadi, rumah lo yang mana?" Cowok bernetra abu pekat itu mengetuk telunjuknya dua kali di stir mobil, dia menatap jendela, mengabsen tiap pagar rumah minimalis yang berderet.

Mereka berada di kawasan perumahan, cowok itu memutuskan sepihak akan mengantar Shareen pulang setelah cengkeraman erat yang dia berikan pada Shareen. Gadis berambut panjang itu tidak bisa menolak, dia sangat ketakutan mengingat perbuatan yang cowok itu lakukan. Dia mengangguk saja dan diantar ke rumahnya sendiri menggunakan mobil cowok itu.

"Yang mana gue tanya?" Sunghoon mengulang pertanyaannya.

"R-rumah aku masuk gang kecil itu." Shareen menunjuk sebuah jalan sempit di sebelah rumah bertingkat.

Alis Sunghoon terangkat, dia mengetuk jari-jemarinya lagi, menelisik jalan sempit yang ditunjuk itu. "Lo ... jangan coba bohongin gue."

Shareen menggeleng kecil. "A-aku gak bohong."

"Denger." Sunghoon menarik napas sejenak kemudian menatap Shareen menggunakan tatapan dinginnya. "Lo udah ngeliat rahasia gue. Gue gak akan biarin lo lepas gitu aja."

Shareen menggigit bibir bawahnya cemas. Dia berusaha menormalkan degub jantungnya yang tidak karuan karena ketakutan.

"Rumah aku emang di situ." Jawaban Shareen lebih berani dari sebelumnya. Membuat Sunghoon cukup salut karena Shareen orang pertama yang berani menjawab pertanyaannya tanpa ragu.

"Oh, ya?" Senyum Sunghoon terlengkung, dia membuka seatbelt-nya lalu turun dari mobil. Shareen dibuat semakin jantungan dengan pergerakan cowok itu.

Merasa perlu turun, Shareen pun membuka seatbelt dan keluar.

Sunghoon menyilangkan tangannya, menghunus Shareen tajam layaknya seorang pembunuh. Ralat, memang pembunuh.

Hampir dua menit, Shareen tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Pembunuh di hadapannya semakin tajam menatap. 

Sunghoon orang yang singkat bicara, hanya melayangkan tatapan lawan bicaranya langsung mengerti maksudnya. Namun, sudah ditatap setajam apa pun, Shareen tidak mengerti maksudnya, malah terbengong di pijakan.

"Lo, mau gue ajak main atau balik ke rumah lo sendiri?"

Shareen tidak mengerti opsi pertama. Tapi mendengar opsi kedua, dia langsung memahaminya. Sontak dia menunjuk gang kecil rumahnya, seolah bertanya 'b-boleh?'.

Sorot Sunghoon berubah datar.

Mendapat sebuah persetujuan, Shareen berjalan takut-takut menghampiri gang rumahnya. Tak disangka, cowok tinggi putih itu mengikutinya di belakang. Refleks Shareen berbalik menghadapnya.

"Loh, ng-ngapain?"

Sunghoon melebarkan senyum. "Kenapa? Takut kebohongan lo terbongkar?"

Bukan. Bukan itu alasannya. Dia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah rumahnya sendiri.

"Aku gak bohong, rumah aku yang itu. Cuma, sekarang kalau ada yang ngeliat kamu, mungkin—"

Sunghoon terpukau. Ada orang yang berani mengatakan hal semacam itu padanya. Delapan belas tahun dia hidup, kalimat itu baru dia dengar untuknya. Gadis sedagunya itu, yang terlihat takut dari luar, tapi sepertinya berani menjawab perkataannya. Baru saja memberikan jawaban berupa alasan.

"A-aku udah kasi nomor telepon, kan? Aku juga kasi nama dan asal sekolah. Sekarang kamu tahu rumah ini. Aku juga udah janji gak kasih tahu siapa pun. Apa lagi yang kamu mau? Aku mohon, pulang aja, ya." Sedetik setelah Shareen mengatakannya, dia merapatkan bibirnya sendiri. Sungguh, dia tidak sadar baru mengatakan hal itu pada seorang pembunuh. Semuanya refleks keluar dari bibirnya.

Sunghoon tertawa kecil. Tawa yang terlihat seperti tawa iblis. Dia menatap Shareen lekat dengan kilat bunuh di irisnya. Kemudian menyugar rambutnya ke atas sambil tersenyum manis. "Okay, kalau lo maunya gitu."

Shareen tercekat kemudian mengangguk takut. Tak disangka cowok bernama Sunghoon itu benar-benar pergi mengendarai mobilnya.

°°°

Shareen menghentikan gerakan penanya mengingat kejadian satu jam lalu. Keringatnya kembali mengucur. Jantungnya berdegup kencang. Rautnya lebih pucat daripada momen pertama kali dia menunggangi gajah. Tidak, ini bukan sekadar menunggangi gajah. Ini lebih dari itu, dan sangat berbahaya.

"G-gimana selanjutnya? Gimana kalau dia kenal aku di sekolah? Tapi, kenapa ada pembunuh di sekolah? Apa aku laporin aja? J-jangan, dia bakal ngebunuh aku."

Gadis itu ketakutan setengah mati. Kejadian yang dia lihat benar-benar nyata. Dia berharap ini hanya mimpi, tapi sudah memukul kepalanya berulang kali, tidak mengubah apa pun.

"Argh!" Dia menjambak rambutnya merasa frustasi.

Malam itu, Shareen tidak bisa menutup matanya lebih dari sepuluh detik, dia terus dihantui kejadian tersebut.

Sekadar menangis saja Shareen tidak bisa. Dia hanya bisa mengusap peluh keringat yang terus-menerus membasahi pelipisnya.

Dia sadar, bahwa hidupnya baru saja berada di ujung tanduk kematian.

Tamat riwayatnya.


°°°

Jangan lupa votenya<3

Jangan lupa votenya<3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Psychopatic Guy✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang