¹². duabelas

10.8K 1.5K 117
                                    

Langit menghitam dengan udara dingin yang mencekam. Bulan enggan menunjukkan rupanya. Hujan menetes setitik demi setitik bersama angin kencang yang menyapu kulit.

Anak laki-laki berusia delapan tahun dengan lebam di sekujur tubuhnya berdiri di sebelah pembatas jalan, menatap sungai aliran deras di bawahnya. Perasaan sesak di dadanya mengalahkan logikanya. Dia ingin mati.

Anak laki-laki itu bernama Sunghoon. Hujan lebat mengguyur, membuat kulitnya sedingin es, tatapan matanya memburam. Bau tanah basah memasuki indra penciumannya, semakin membulatkan tekadnya untuk mengakhiri hidupnya sekarang.

Baru saja naik ke tiang pembatas, teriakan seseorang menghentikan gerakannya.

"Tunggu!"

Seorang gadis kecil dengan gaun putih lusuh yang entah datang dari mana berlari ke arahnya lalu memeluknya erat. Seluruh tubuhnya berguncang. Tapi setelah itu, dia ikut naik ke tiang pembatas.

"Aku juga mau mati." Gadis itu mengatakan penuh kepercayaan diri.

Sunghoon menatap gadis itu tak percaya. Ada seseorang yang mengatakan itu di umurnya yang masih kelewat muda.

"Lo siapa? Kenapa tiba-tiba di sini?" Sunghoon mencegat lengan gadis itu agar tidak terjatuh.

Gadis tersebut menoleh padanya, pancaran matanya terlihat polos. Di balik tatapan polos itu, tersirat kepedihan. "Mereka bilang, aku harus nunggu di sini. Mereka bilang, cuma mau beli makanan enak. Tapi, udah tiga hari, mereka nggak kembali juga."

"Siapa?"

"Ayah dan Ibu. Sekarang aku tahu alasannya. Aku pernah dengar kalau seseorang nggak diinginkan, cara terbaik adalah mengakhiri hidup."

Sunghoon tertegun. Selama beberapa detik dia terdiam sambil menimbang apa yang seharusnya terjadi. Kemudian meluruskan lagi pandangannya pada sungai deras tersebut. "Kalau gitu, ayo kita mati sama-sama."

°°°

Sunghoon terbangun dengan cahaya matahari yang menyilaukan pandangan. Bola matanya menyorot malas sosok yang baru saja mengganggu waktu tidurnya.

"Udah siang, pangeran manis." Heeseung bersedekap dada sambil tersenyum simpul.

Cowok yang masih berbaring di atas kasur itu melempar bantal ke arah Heeseung. "Bodo amat, tutup lagi jendelanya!"

"Mana bisa, setiap hal yang udah gue sentuh gak boleh dibalikin ulang. Buruan bangun, lo ada rapat sama para guru."

Sunghoon berdecak kesal. Bukannya beranjak, dia menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya.

"Bangun bangun bangun!" Heeseung sudah berada di sebelahnya, menarik-narik selimut serta bantalnya.

"Stop atau kepala lo melayang, ya, Hee."

Heeseung cengengesan. "Bagusan melayang, deh, daripada ancaman lo minggu lalu, kepala gue ditenggelamin ke akuarium, enggak banget. Mati pun gue harus berkelas, ya."

Sunghoon tidak peduli.

"Hoon, seriusan, lo harus dateng hari ini. Gara-gara lo nonjokin anaknya pak kepala sekolah kemarin, lo dipanggil lagi."

"Hari ini lo yang gantiin, deh. Males banget gue."

"Kepala lo dua." Heeseung menariknya paksa. "Gue yang gantiin artinya gue yang nerima ocehannya. Gak ada, gak ada. Kemarin gue rela-rela aja walau lo bayar berapa pun. Kali ini ogah. Mending lo bangun! Gue begini karna sayang juga sama lo. Gue gak mau lo terus ngehindar dari perbuatan lo."

Tanpa belas kasihan Sunghoon menendang tulang kering Heeseung. Hal tersebut membuat Heeseung mengaduh kesakitan mengingat tendangan Sunghoon luar biasa sakitnya.

Psychopatic Guy✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang