prolog

1.5K 52 5
                                    

.

.

.

Ini sudah larut malam dan Arin harus terus memaksa matanya untuk terbuka.
Shift malam selalu meresahkan.

"Hey, buatkan kopi untuk dokter di poli bedah saraf"
Seorang wanita dengan wajah yang terlihat sinis. Baju dokter yang ia pakai hanya sekedar tameng, penutup sifatnya yang menyebalkan aslinya.

Arin baru ditugaskan pada tahun ini. Menjadi calon perawat muda seperti dirinya tidak mudah. Dan baru kali ini juga ia bertemu orang menyebalkan seperti orang tadi. Wajar saja, dalam pendidikan medis dia hanya diajarkan tentang tubuh manusia bukan tata Krama.

"Memangnya aku dibayar untuk buatin mereka kopi apa?!" Gerutu Arin hanya berada dalam gumaman. Mereka tahu bersikap sopan pada senior adalah suatu kewajiban yang tak tertulis.

Arin baru kembali dari ruang poli saraf, mereka sedang makan pizza dan sama sekali tak menawarkan sepotong pun untuknya. Dimana perasaan mereka, tidakkah mereka menawarkan meskipun nanti Arin akan menolaknya.

Tiba-tiba seluruh telpon berdering membuat keadaan menjadi tegang seketika.

"Ambulance, ada kecelakaan di jalan umum, persimpangan rambu, zona darurat? Cepat!"
Teriak resepsionis.
Sedangkan yang lain masih berbicara pada si penelepon.
Baiklah ini waktunya Arin bersiap-siap.

Tak lama, ketika mobil-mobil datang berurutan. Lobi rumah sakit langsung di penuhi keriuhan, dengan orang-orang yang dipenuhi luka dan darah.
Hampir semua orang di sibukkan oleh para pasien.

Arin menghampiri seorang wanita yang sedang tidak sadarkan diri di atas brankar.
Tidak terlihat luka serius, lecet di kepala dan sepertinya cedera ringan, terdapat beberapa pecahan kaca pada rambut indahnya.

Dia masih hidup, Arin baru saja menemukan detak nadi yang lebih lambat dari batas normal.
Dan tiba-tiba pasien lain datang.

"Arin cepat ke sini!"
Seorang dokter memangilnya. Di atas brankar itu terbaring pria dewasa dengan wajah brewok, ia dipenuhi darah.

'ya ampun darahnya banyak banget'
Batin Arin tapi ia berusaha menegaskan hati.

"Tahan lukanya, aku harus pergi untuk mencari bantuan. Buat dia tetap terjaga"
Katanya, Arin langsung mengambil alih tempat dokter itu. Ia menahan luka di sekitar bahu, dekat dengan jantungnya. Beruntung sekali tidak pada jantungnya.

"Tuan, Anda bisa mendengar ku? Tolong tetaplah sadar"
Kata Arin dengan mulut bergetar, sungguh ia takut pada banyak hal. Merasakan darah yang mengotori telapak tangannya saja sudah membuat seluruh tubuhnya terasa dingin.

Arin sambil mengedarkan pandangannya mengharap kepada dokter untuk menangani pasien ini secepatnya. Buruk sekali, ICU di penuhi oleh korban sekarat yang terluka parah.
Seharusnya Arin tidak boleh panik, tapi melihat laki-laki yang seperti setengah sadar membuat jati dirinya tidak bisa menutupi kebohongan. Ia panik lamun tertahankan.

"Tuan, tuan, tolong berusaha tetap terjaga"
Ia menatap pria itu penuh, berharap ucapnya bisa di tangkap.
Laki-laki itu menatap Arin dengan mata sayup, Arin tidak yakin pria itu mengerti ucapannya sekarang.
Mulutnya terbuka entah karena rasa sakit atau apa.

Sial! Dimana semua dokter tidak berguna itu.

"A..aku... Haahh"
Suara terdengar dari mulutnya.

"Iya tuan?"
Arin berusaha mendekatkan wajahnya untuk mendengarkan sesuatu yang mungkin ingin di katakannya. Apakah itu wasiat kematian atau permohonan, Arin harus siap mendengarkan.

"Tolong tetaplah bernafas"
Mohon Arin sambil mengedarkan pandangannya lagi, pria itu sudah kesakitan dan ia masih menunggu para ahli medis.

Dan saat Arin mengalihkan pandangannya kembali pada si pria, ia terkejut.

"Tuan?"
Panggil Arin, laki-laki ia sudah menutup mata.
"Ya ampun tidak"
Geram Arin ketakutan.
"Tuan, tuan! Tolong kembali sadar. Tuan?"

Ya ampun apa yang terjadi sekarang. Apakah dia pingsan atau meninggal?
Arin masih menahan luka, ia tidak bisa memeriksa detak jantungnya.

Di saat itu dokter yang ditunggu datang.
Mereka langsung mendorong brankar menuju ICU cadangan.

Arin berdiri mematung dengan wajah khawatir. Tangannya tergantung lemas, darah masih terasa basah di kedua telapaknya.

"Dia gak mati kan?"
Batin Arin.
Wanita itu berada dalam dilema dan ketakutan selama menunggu pria tadi di ICU.

Arin sudah mencuci tangan nya sampai bersih dengan perasaan bersalah dan takut masih menyelimuti. Lengan bajunya di kotori oleh darah. Tetapi ia punya hal penting yang perlu di pikirkan saat ini.

"Dia pasti hidup kan?"
Meskipun jika si pasien meninggal, itu bukan salahnya bukan? Ia sudah melakukan yang terbaik.
Tapi mengapa ia tak bisa mengenyahkan pikiran itu.

Keadaan ICU dan ruang lobi sudah kondusif saat ini, memang memerlukan waktu lebih dari lima jam. Sembari memasang infus untuk pasien lain Arin terus memantau keselamatan pria tadi.
Dan setelah beberapa jam, kekhawatiran bisa ia atasi ketika melihat dokter bedah keluar dari ruang operasi dengan wajah lega.

"Dia bisa saja dalam kondisi kritis. Pantau terus perkembangannya"
Katanya, Arin bisa mendengar hal itu ikut bernafas lega.
Syukurlah ia tidak merasa bersalah lagi kali ini.
Sebentar lagi juga subuh akan datang. Dan di paginya ia bisa pulang dengan tenang.

.

.

.

Holaa ini author selamat datang di ceritakan ku yang baru.🌝😘













On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang