Part 24 | Nggak sendirian

20 4 18
                                    

Haiii! Gimana kabarnya?? Seneng nggak pas ceritanya update lagii??

Satu kata sebelum baca part ini??
Satu emoji sebelum baca part ini??

—Happy reading!—

***

PART 24 | NGGAK SENDIRIAN

“I feel you, Ren. Aku tau gimana sakitnya pas orang-orang nggak percaya sama ucapan kita, bahkan sampe ngerundung kayak gini.”

—Thalita Dwi Meila

***


Rizano pergi ke satu tempat di belakang sekolah. Di mana semua anak-anak yang dicap trouble maker berkumpul. Sepertinya, dia juga akan dicap seperti itu oleh seisi sekolah.

Rizano menghela napasnya. Kemudian duduk di bangku panjang yang masih kosong, di sebelah anak cowok dengan rambut yang gondrong. Rizano melirik badge kelasnya. Kemudian mengambil sebatang rokok dan juga korek dari saku celananya.

“Sejak kapan lo ngerokok? Gue belum pernah liat lo di sini.”

Salah satu dari mereka berkata demikian. Membuat Rizano mengembuskan asap rokoknya. Pria itu mengeluarkan bajunya, kemudian mengacak pelan rambutnya sendiri.

“Sejak sekarang. Gue emang baru a—”

“Baru masuk circle kita?” potong salah satu lagi dari mereka. Membuat Rizano mengangguk mengiyakan.

“Lo yakin? Dari tampang lo kayaknya, lo anak baik-baik, deh. Kenapa mau pindah circle?” kulik pria yang di sebelah Rizano. Pria itu tak lain adalah Magma—XII MIPA 9.

Rizano menghela napasnya. Dia memegang rokoknya di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah. Tak jadi mengisapnya kembali, ketika mendengar pertanyaan senior di sebelahnya.

“Capek aja jadi orang baik-baik, kalo nyatanya nggak ada yang pernah hargain. Jadi, ya, gitu,” balas Rizano sembari kembali mengisap rokoknya. Membuat beberapa dari mereka terkekeh pelan.

Octa, diam-diam gadis itu mengekori Rizano, sejak selesai berdebat dengan Renjana tadi. Hatinya semakin sakit. Kenapa Rizano harus demikian? Apa ini karenanya? Apa ini salahnya? Kesalahan besarnya yang membuat pria itu mulai menyimpang dari circle yang dia punya?

Octa menghela napasnya. Matanya berkaca-kaca. Dia merasa bersalah, tetapi di satu sisi hatinya mengatakan lain. Hatinya kekeuh bahwa dia tidak salah apapun. Rizano yang mengecewakannya, maka pria itu harus menerima konsekuensinya.

Tanpa sengaja, Rizano menoleh ke arah Octa. Rizano terdiam beberapa saat. Ada ikatan mata yang terpancar di antara keduanya.

“Kenapa?” Magma menepuk pelan bahu kiri Rizano. Membuat pria itu tersentak, lalu menoleh ke arah Magma. Segera, dia menjatuhkan puntung rokoknya dan menginjaknya sejenak—mematikan baranya.

“Gue cabut dulu.” Rizano beranjak berdiri. Membuat anak-anak trouble maker itu mengernyit keheranan, menatap kepergian Rizano.

Never Be Us [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang