2

1.2K 280 300
                                    

Tamparan keras melayang cepat dan tepat di pipi gembil nan putih milik Jimin. Cukup menyakitkan terlihat dari kulit itu yang memerah seketika.

Yoongi yang menyaksikan saja harus meringis ngilu membayangkan betapa perihnya pipi itu. Berbeda dengan Jimin yang terdiam di tempatnya tanpa bereaksi apapun.

Jimin sudah mati rasa dengan pipinya yang sering mendapat tamparan dari sang ayah. Jadi, ini bukan apa-apa lagi baginya.

"Sudah saya peringatkan untuk pulang sesuai yang waktu yang ditentukan. Kamu sengaja membuat makan malam bisnis saya menjadi hancur?!" Teriak tuan Park begitu menggelegar dengan amarah yang memuncak menatap sosok kecil anak bungsunya.

"Jika saja Yoongi tidak ada urusan, terserah kamu mau pulang jam berapa sekalipun. Saya tidak peduli!"

Lagi dan lagi karena Yoongi. Jimin refleks menghela nafas pelan saat mendengar nama Yoongi disebut. Ia tetap berdiri tertunduk di hadapan sang ayah yang sedang asik menghempaskan seluruh emosinya terhadap dirinya.

Menatap kuku kakinya sepertinya lebih menarik dibanding menatap orang sekeliling yang sedang menghakiminya.

"Kamu-" Tuan Park mengenggam kuat rambut Jimin hingga mendongak menatap kearahnya. Matanya menatap nyalang sang anak yang tidak bergeming di tempatnya. Menampilkan wajah kesakitan pun tidak sama sekali.

"-memang anak yang tidak berguna." Lanjutnya menghempaskan kasar kepala Jimin hingga sang empu terhuyung ke belakang.

"Gara-gara kamu, semua menjadi gagal. Kamu hanya menggantikan posisi Yoongi, itu saja. Sesusah itu?!"

Ucapan itu sukses membuat hati Jimin menjadi sedikit merasa sakit. Ya, sakit hati. Alasan ia dipukuli dan dikasari selalu karena Yoongi.

Hanya Yoongi yang dianggap sebagai anak di keluarga ini. Hanya Yoongi pula lah yang paling disayang di antara mereka.

"Sudah, ayah. Jangan pukuli Jimin. Aku akan mengajarinya lebih baik lagi."

Suara Yoongi terdengar begitu memuakkan bagi Jimin. Ia mendecih pelan menatap Yoongi dengan ekor matanya. Sok menjadi pahlawan rupanya.

"Saya akan menyita kartu kredit dan juga ponselmu. Berikan cepat!" Perintah Tuan Park begitu terlihat memaksa.

"Sudahlah. Biarkan saja dia, kau memukulnya saja sudah cukup." Ujar Nyonya Park pada akhirnya. Jimin merasa senang sekaligus sakit secara bersamaan.

Secara tak langsung, ibunya tidak mempersalahkan kekasaran Sang ayah terhadap dirinya. Benar-benar mengecewakan.

Jimin yang tidak ingin berlama-lama, segera merogoh dompet dan juga ponselnya. Meraih semua kartu yang ada di dompet lalu meletakannya begitu saja di atas lantai begitupun dengan ponsel.

Tidak ada kunci motor, memang sedari awal Jimin tidak diperbolehkan memiliki kendaraan. Pergi dan pulang sekolah saja ia hanya menaiki bus ataupun taksi. Terkadang di jemput dan diantar Minhyun.

"Ayah jangan menyita semua. Jimin akan kesusahan pergi ke sekolah." Bela Yoongi, lagi. Ia kesal melihat adiknya yang hanya diam saja tanpa meminta maaf.

"Jimin, cepat minta maaf." Bisiknya setelah mendekat pada Jimin.

Jimin tampak tidak memperdulikan ucapan Yoongi. Ia tak berniat berbicara sedikitpun, bahkan mengangkat pandangannya pun tidak.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang