Bagi Yoongi, Jimin adalah dunianya.
Sebut saja berlebihan. Tapi bagi Yoongi sendiri semua itu adalah hal seimbang yang bisa dirinya berikan sebagai ganti kasih orangtua mereka yang seharusnya adiknya itu dapatkan.
Sedari kecil Jimin sudah diacuhkan oleh mereka. Tapi tidak ditelantarkan. Semua kebutuhannya selalu dipenuhi dan tak pernah kekurangan apapun. Hanya saja perhatian mereka yang tidak ada.
Tapi sayangnya Yoongi baru mengetahui hal itu disaat dirinya menginjak kelas tiga menengah atas. Membuatnya menjadi semakin overprotektif mengenai hal apapun menyangkut adiknya.
Saat Jimin mulai memasuki sekolah menengah atas, ayahnya mulai berani bermain tangan. Bahkan Yoongi pernah memergoki saat ayahnya hendak memukul adiknya itu dengan ikat pinggang.
"Anak nakal ini sudah berani membolos. Jika dibiarkan bisa-bisa dia mengulanginya lagi."
Itu jawaban ayahnya saat itu ketika Yoongi menanyainya. Yoongi tentu tidak bisa berbuat apa-apa setelah mendengar betapa tegasnya kalimat ayahnya waktu itu.
Jimin juga salah karena telah bolos dari pelajaran. Padahal sering diingatkan untuk tidak melakukan hal buruk di sekolah. Tentu hal itu juga membuat hanya bisa diam tanpa bisa menghentikan ayahnya.
Sampai detik ini, Yoongi masih mengingat dengan jelas bagaimana terlukanya Jimin ketika menatapnya waktu itu.
Sekarang, wajah bahagia Jimin terpampang jelas setelah menceritakan tentang perubahan sang ayah pada adiknya itu. Wajah yang jarang ceria kini menampakkan senyuman lebarnya. Tentu saja Yoongi ikut merasa senang.
"Yasudah, kita tidak jadi pindah." Jawab Yoongi atas permintaan Jimin beberapa saat lalu. Dia mengatakan semua sejelas-jelasnya atas keinginan ayahnya.
Awalnya Yoongi merasa tak yakin. Tapi melihat betapa bahagianya Jimin mendapatkan sikap kecil namun hangat itu dari ayahnya membuat Yoongi mau tak mau berusaha untuk percaya itu.
"Kakak tidak marah 'kan?"
Yoongi tersenyum lembut, ia menggeleng sembari mengusak kecil puncak kepala Jimin. "Tidak sama sekali. Kakak bahagia melihatmu bahagia."
"Aku merasa seperti di dalam mimpi." Jimin menepuki pipinya berulang kali.
'Semoga saja tidak.'
•••
Setelah makan malam usai, Songmin mengajak Jimin pergi untuk mengunjungi salah satu temannya. Tentu saja Jimin merasa senang karena baru ini kali pertama sang ayah mengajaknya keluar.
Biasanya setelah makan malam, ayahnya justru memberi perintah kembali ke kamar untuk belajar. Kali ini rasanya begitu lain.
"Bukankah ini rumahnya kak Namjoon, ayah?" Mata Jimin beralih menatap ayahnya dengan bingung.
"Ayah Namjoon, teman ayah." Jimin mengangguk mengerti. Lantas segera turun dari mobil mengikuti sang ayah yang telah berjalan lebih dulu.
Bel di samping pintu ditekan, lalu keluar sosok pria paruh baya seumuran ayahnya. Namun dengan badan kekar berotot dan wajah itu, Jimin mengingatnya. Pria yang sempat membawa dirinya saat di Busan.
Melihat wajah itu, diam-diam Jimin merasa takut dan malah bersembunyi di balik punggung tegap ayahnya.
"Hei nak, aku bukan orang jahat." Ujar pria itu terkekeh pelan ketika menyadari tingkah Jimin yang menghindari kontak mata dengannya.
Songmin ikut menatap, tangannya merangkul bahu Jimin dan memposisikannya berdampingan. "Ini teman ayah sejak sekolah dulu. Berikan salam padanya."
Jimin tidak segera mengindahkannya. Malah semakin menundukkan kepalanya.