12

737 186 16
                                    

Mobil yang dikendarai Yoongi melaju membelah jalanan ramai dengan tangannya yang sibuk menempelkan ponsel ditelinga. Berusaha menghubungi sang Ayah yang tak ditemui keberadaannya di rumah.

Ini aneh, sungguh. Ayah dan Ibunya itu bagaikan surat dan perangko, yang selalu saling menempel. Dimana ada Ayah, disitu akan ada sang Ibu. Kali ini, Ibunya di rumah sedangkan Ayahnya tak tahu ada dimana.

Ditanya pada Ibunya pun, jawabannya tidak jelas.

"Ayahmu mungkin masih diluar."

Setelah menjawab begitu, Ibunya melenggang pergi memasuki kamar. Seolah menghindari pertanyaan yang akan kembali Yoongi lontarkan.

Yoongi sangat yakin bahwa adiknya pasti bersama pria paruh baya tersebut. Entah apa yang akan ayahnya lakukan terhadap Jimin, hal tersebut jelas membuatnya khawatir bukan main mengingat perlakuan kasar yang selalu adiknya terima dari sang ayah.

"Ah sial!" Umpatan reflek terucap kala ponselnya berdering, bukan seperti yang diharapkan.

Nama sang asisten terpampang besar disana. Pasti urusan kantor lagi yang menganggu. Disaat dirinya kebingungan dan panik mencari adiknya.

"Ya, ya! Aku sedang dalam perjalanan." Singkatnya membalas perkataan dari seberang sana. Lantas mengakhiri panggilan tanpa basa-basi. Memutar setir ke arah yang berlawanan.

Tadinya ingin mencari keberadaan ayahnya pada semua tempat yang sekiranya pernah disinggahi pria itu. Sekarang rencananya harus pupus karena rapat penting yang tidak bisa ditinggal begitu saja.

"Sedikit saja terjadi sesuatu pada Jimin, aku bersungguh tak akan lagi memaafkanmu, Ayah." Gumam Yoongi mencengkram erat setir mobil. Menatap tajam lurus fokus ke depan.

•••

"Ingat dan pelajari rumus ini lalu kerjakan persoalan yang kuberikan." Selembar kertas yang bertuliskan banyak angka tersebut disodorkan ke atas meja setelah menunjuk beberapa halaman yang ada di buku cetak.

Pria dewasa yang berkacamata tersebut memperlihatkan raut seriusnya. Membuat remaja di depannya mengangguk pelan dengan patuh tanpa menolak walau kepalanya sedikit merasa pusing.

Matanya menyelusuri setiap kalimat penjelas dan beberapa rumus yang cukup menguras otak. Apalagi dalam keadaan kurang sehat begini, fokusnya jadi berkurang. Hanya ingin tidur agar bisa mengistirahatkan pikirannya yang sedikit kacau. Tapi keinginan tersebut hanyalah khayalan semata. Tidak akan bisa terlaksana walaupun ia merasa sangat lelah.

Park Jimin, mulai menulis jawaban pada lembaran kertas soal tadi. Sedikit demi sedikit sembari terus memperhatikan contoh soal yang ada.

"Bagian ini harusnya dikurangi." Komentar terdengar dari samping ketika Jimin berusaha memfokuskan diri. Seketika pula membuyarkan lamunannya yang hampir terhanyut dalam pemikiran tentang soal.

"Bagus. Kau melakukannya dengan baik." Jimin tersenyum menanggapinya. "Kau bisa mengulanginya kembali di rumah."

"Baik, kak."

Belajar les privat untuk pertama kalinya selama menginjak menengah atas. Terakhir kali sudah terlewati beberapa tahun yang lalu. Kira-kira semenjak menduduki kelas tiga sekolah dasar dahulu karena saat itu nilainya benar-benar anjlok drastis.

Jangan ditanya bagaimana kondisi mental Jimin saat itu. Sudah pastinya lebih parah dikarenakan sifat perfeksionis kedua orang tuanya. Apalagi keberadaan kakaknya yang sudah jenius dari lahir, membuat keadaannya menjadi sangat lebih tertekan karena dibanding-bandingkan.

"Jimin, kau kenapa?"

"A-ah aku baik." Jawabnya tergagap. Sedikit merasa tak enak karena ketahuan melamunkan sesuatu.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang