4

955 225 51
                                    

Jimin berdiri di barisan yang telah diatur guru dengan beberapa murid lainnya. Berdiri di sisi lapangan basket outdoor dengan peluh yang menetes sebab matahari yang sangat terik.

Ini adalah barisan murid yang terlambat datang.

Sudah dibilang dia akan terlambat jika memakan sarapannya. Dan dia juga tak terbiasa sarapan pagi-pagi seperti tadi. Akibatnya sekarang perutnya mulai bereaksi kesakitan.

Jimin berdiri dengan gelisah di barisannya, menatap guru yang berdiri di depan sedang menceramahi semua yang terlambat.

"...Tetap ikuti peraturan sekolah yang sudah ditetapkan dan jadilah anak yang disiplin dengan waktu. Kalian pasti sudah mengetahui istilah waktu adalah emas. Maka dari itu.." Masih banyak lagi kalimat-kalimat pencerahan yang dilontarkan salah satu guru konseling di depan sana.

Jimin tak bisa fokus mendengar, selain berada paling belakang, pandangannya juga sedikit memburam. Mulutnya berkomat-kamit berdoa tanpa suara, memohon agar dirinya bisa bertahan paling tidak hingga hukuman ini berakhir.

"Sekarang berlarilah keliling lapangan sebanyak 10 kali. Setelah itu, melapor ke meja piket dan kalian bisa lanjut belajar di kelas. Mengerti?" Akhir dari pidato panjang guru konseling dijawab dengan pasrah oleh semua murid yang di barisan.

Hukuman kali ini tidak main-main parahnya. Bayangkan saja ukuran lapangan basket berapa luasnya. Tak sedikit dari mereka yang merutuki guru kejam itu.

"Hei, kamu tidak apa-apa?"

Salah seorang yang ada di sisi Jimin menyadari keanehan geraknya. Dia memegang bahu Jimin yang tampak turun.

Jimin tersenyum canggung menggeleng menjawabnya. "Aku baik-baik saja."

"Kalau terjadi sesuatu, bilang saja padaku. Aku bisa bantu izinkan pada guru." Tawar pria sebaya dengan dirinya itu, dia tersenyum sangat manis hingga membuat Jimin merasa lupa sesuatu. Namun dia segera menepis semua itu.

"Baiklah, terima kasih." Ucap Jimin sembari tersenyum penuh.

☆☆☆

"Permisi?" Jimin melambai pelan pada salah satu teman yang menyapanya tadi.

Hukuman sudah dia kerjakan. Sedikit kesusahan karena tadinya merasa sedikit pusing. Tapi syukurlah hukuman bisa terlaksanakan walau sedikit lebih lama dari yang lainnya.

Sebab, dia berlari dengan lambat.

Semua yang berada di sekeliling menolehkan wajahnya. Pandangan Jimin hanya terarah pada satu orang. Orang itu tersenyum tipis kala menyadari Jimin memanggil dirinya. Dia berjalan mendekat.

"Kamu butuh bantuan?" Tanyanya.

Jimin menggelengkan kepalanya. Bukan itu tujuannya untuk memanggil.

"Aku ingin tau namamu."

Pria itu memiringkan kepalanya. Setelah itu tertawa renyah hingga menampilkan lekukan kotak di bibirnya.

"Sepertinya aku mengenalimu, hanya saja aku sedikit lupa." Ujar Jimin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedikit tertawa ringan merutuki kebodohan otaknya dalam mengingat.

Pria bersurai hitam legam itu tersenyum penuh arti. Mata yang memiliki kelopak ganda di salah satu nya itu menatap Jimin dengan satu alis terangkat.

"Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat?"

Jimin mengangguk-anggukan kepalanya sembari menatap wajah itu lamat-lamat. Dia ingin sekali mengingat siapa pria ini yang memiliki wajah yang tidak asing dari memori pikirannya.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang