Maapin kalo ada typo.
.
Jalanan busan yang lumayan padat tidak juga membuat mobil itu melaju dengan lambat. Karena emosi, pria paruh baya itu hanya bisa melampiaskannya dengan menarik pedal gas dengan kecepatan yang cukup membuat jantung berdebar tak karuan.
Dan hal itu yang sedang dialami Jimin di sebelahnya. Matanya melirik takut-takut jalanan di depan.
"Ayah, pelan-pelan saja." Pintanya berujar pelan dengan nada bergetar takut.
Raut ayahnya jelas menakutkan. Beribu keyakinan bahwa setelah ini tidak ada keselamatan untuknya. Sang ayah marah besar ketika saat bertemu tadi di parkiran. Hoseok sendiripun tak bisa berkutik dan mencegah kepergian keduanya.
Setelah memasuki mobil hingga sekarang, tuan Park masih saja sibuk dengan kemarahannya sendiri. Begitu enggan walau hanya sekedar menghardik orang yang menjadi tiang amarahnya.
Dirinya hanya tidak ingin bertindak gegabah disaat sedang menyetir. Bisa berbahaya jika sampai fokusnya menjadi terbagi dua.
"Hati-hati, ayah." Ucap anak itu lagi ketika mobil berhasil menyalip sebuah bus.
"Diam." Hanya nada halus namun sukses membuat Jimin mengulum bibirnya agar tak lagi bersuara. Memegang erat sabuk pengaman dengan mata tertutup. Enggan untuk melihat ke depan yang membuat jantung hampir terlepas dari tempatnya.
Sembari berkomat-kamit merapal banyak doa untuk keselamatan mereka.
Mobil sedikit oleng ketika tuan Park berusaha menghindari mobil lain yang melaju cepat tak terkendali. Jimin tentu terkejut dan refleks menatap ke depan untuk melihat apa yang terjadi. Tepat lima puluh meter di depan, mobil itu telah menabrak pembatas jalan dan terguling.
Kendaraan yang lain berhenti, begitu juga dengan tuan Park yang ikut menghentikan pedalnya mendadak. Alhasil tubuh mereka terhempas ke depan sehingga terbentur dashboard.
Jimin meringis pelan merasakan nyeri pada dahinya.
"Kau tunggu disini." Tuan Park sedikit mengusap dahinya yang sepertinya juga sedikit merasa perih. Akhirnya berlalu keluar entah apa yang akan dia lakukan.
Jimin hanya bisa menatap kepergian pria paruh baya itu yang menghilang di kerumunan. Suara ambulans saling bersahutan bersama suara ricuh orang-orang membuat keadaan menjadi bising seketika.
Ingin sekali melihat lebih dekat, tapi pesan sang ayah harus membuatnya mengurungkan niat. Akan lebih bahaya jika dirinya kehilangan jejak di daerah yang tidak tahu pasti dimana sekarang.
Tapi jika dipikir-pikir melarikan diri disaat seperti ini juga kesempatan yang bagus. Menghindari yang akan terjadi nantinya ketika sampai di rumah. Ia tahu pasti apa yang akan dirinya terima setelah menimbulkan murka sang ayah.
Tidak akan jauh dari kata pukulan sebagai hukuman.
Sekarang Jimin harus dibuat bingung dengan dua pilihan. Antara tetap disini dan siap menerima pukulan atau kabur tapi harus siap mental untuk bertemu kedua kalinya dengan sang ayah yang akan lebih murka lagi.
Matanya menatap penuh ragu pada tempat terakhir sang ayah masih terlihat. Memastikan bahwa sosok itu masih tidak tampak disana.
"Bagaimana ini..."
Pilihan sudah terpikirkan. Mengingat tujuannya untuk datang ke Busan membuat dirinya bergerak nekat membuka pintu mobil. Masih dengan mata melirik ke luar, dengan gesit dirinya segera keluar dan berlari berlawanan arah.
Tidak peduli apa yang akan terjadi, kabur sekarang lebih baik untuk mencapai tujuan awalnya.
Belum jauh dari kerumunan, langkahnya dihadang seseorang. Jimin tidak tahu kaki siapa yang menghalangi jalannya karena tak sempat mendongak karena sibuk mengatur nafas yang menderu kencang akibat berlari.