~
Bocah kecil si bungsu Park memasuki rumah dengan rengutan di bibirnya. Tertunduk sedih dengan tangan mengenggam bulatan kertas yang diremat hingga tak berbentuk.
Kepalanya terangkat sepenuhnya dengan pandangan terpendar menatap sekitar. Sosok ibunya yang sedang sibuk berkutat dengan macbook terlihat olehnya di sofa ruang tengah.
Tentu saja dirinya berlari kecil mendekati wanita tersebut dengan mata berkaca-kaca. Ingin sekali memeluk dan mengadukan semua hal tidak menyenangkan yang terjadi di sekolah hari ini.
"Ibu.. hiks."
Nyonya Park sempat melirik sekilas, setelahnya kembali menyibukkan diri. Memang ia tak peduli sedikitpun. Bahkan tangisan si bungsu yang makin kencang pun tak dihiraukan.
Park Jimin terus menerus terisak di tempatnya ketika menatap presensi ibunya yang tidak mempedulikan keberadaannya. Kedua lengan mungilnya terentang, bulatan kertas tadi dibiarkan terjatuh menggelinding di lantai.
"Ibu.." panggilnya disertai dengan gerakan memeluk tungkai kaki wanita cantik disana. "Jimin mau sekolah di tempat kak Ugi saja. Hiks.."
"Lepas, Jimin. Kau mengangguku!"
Jimin lekas menggeleng. Wajahnya mendongak, netra berurai airmata itu menatap sang ibu dengan penuh kesedihan. "Jimin mau sekolah di tempat kak Ugi, ibu. Teman di sekolah Jimin jahat-jahat hiks. Jimin takut."
"Mana bisa begitu. Kau masih sekolah dasar, bocah!" Balas nyonya Park sembari melepas paksa lingkaran lengan Jimin pada kakinya. Akhirnya terlepas juga walau akhirnya si kecil tergolek di lantai.
Wanita itu tak merasa bersalah sedikit pun, justru dirinya kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Sesekali melirik si bocah jika sewaktu-sewaktu kembali menganggunya.
"Astaga!" Sorak pria paruh baya begitu pemandangan yang cukup menyedihkan terlihat olehnya ketika barusaja memasuki rumah. Dengan gerakan cepat dirinya melangkah menuju sang anak yang sudah terduduk masih terurai airmata.
"Ada apa denganmu?" Tanya pria itu yang tak lain adalah tuan Park. Berjongkok di depan Jimin dengan tangan bertumpu pada bahu kecil itu. Matanya menampakkan raut khawatir, sebelum sang anak menunjuk bulatan kertas yang sedari tadi terabaikan.
"Buku rapor Jimin disobek Donghyun, ayah. Jimin mau sekolah di tempat kak Ugi saja hiks. Donghyun bilang Jimin tidak boleh sekolah disana karena nilai Jimin jelek."
Tuan Park meraih kertas tersebut dan meneliti setiap deretan angka-angka disana. Hampir semua mata pelajaran memiliki nilai rendah. Ini tidak bisa dibiarkan.
Kenapa guru tidak memberitahunya akan hal sepenting ini?!
"Bodoh." Umpat tuan Park pelan. Maniknya kembali berfokus pada si bungsu, "Masuk ke kamarmu. Jangan cengeng!" Titahnya memaksa tubuh itu agar berdiri dan mendorong pelan punggungnya menjauh dari sana.
Jimin dengan ragu kembali menatap sang ayah, "Ayah, Jimin mau sekolah di tempat kak Ugi." Masih dengan keinginan yang entah sudah berapa kali ia utarakan.
"Sudah kukatakan kau masih sekolah dasar, lagipula aku tak akan mengizinkannya." Sela nyonya Park.
"Masuk kamar, sekarang!"
Melihat wajah yang tadi lembut itu berubah menjadi menakutkan, Jimin berjalan pelan memasuki kamarnya menuruti perintah. Wajahnya semakin murung.
Tuan Park merogoh ponsel miliknya. Menekan salah satu kontak sembari berucap tegas pada sang istri, "Tak seharusnya kau memperlakukan Jimin seperti itu. Dia masih kecil, jangan berlaku kasar padanya." Ucap tuan Park kala mengingat Jimin yang tergolek tak berdaya di lantai nan dingin beberapa saat yang lalu.