Annyeong yeorobun👋
Maaf banget kelamaan ngelanjutin cerita ini.Happy reading!
"Apa yang kamu katakan sampai Yoongi berani membantah saya?"
A-ah. Jimin ditarik menuju gudang saat baru tertidur beberapa menit setelah ditinggalkan Yoongi.
Ketika lelah bertemu peristirahatan sementara, dipaksa untuk berdiri kembali. Di hempaskan begitu saja hingga menubruk lemari kecil usang di sudut gudang.
Jimin meringis pelan. Pening iku mendera sebab bangun secara tiba-tiba dari tidurnya.
Tamparan keras terasa sangat perih di pipi kanan Jimin. Siapa lagi pelakunya jika tidak si Tuan Park.
"Hanya satu yang saya minta, dapatkan nilai tinggi. Tidak perlu yang lain, hanya itu saja."
Jimin hanya terpaku di tempat, mengumpulkan kesadarannya yang masih di ambang batas. Belum begitu menyadari apa yang diucapkan padanya.
"A-ayah.."
"Ini sakit..ini juga." Jimin meraba-raba punggungnya lalu menunjuk dada. Hatinya ikut perih, diperlakukan tak layak oleh ayahnya sendiri.
"Tutup mulutmu! Jangan ucapkan apapun pada Yoongi. Jika bisa, menjauh darinya."
"K-kenapa, ayah? Kenapa aku harus menjauhi kakakku sendiri? Kenapa ayah menyakitiku?" Tanya Jimin beruntun hingga tanpa sadar buliran bening mengaliri pipinya.
"Karena kamu itu bodoh! Belajarlah rajin-rajin biar bisa seperti Yoongi sekarang. Bisa bekerja di kantor besar yang memiliki gaji yang lebih besar. Hidupmu juga terjamin nantinya. Tidak usah sok tersakiti disini, saya hanya mendidikmu supaya tidak seenaknya saja."
Seenaknya ya? Belajar mati-matian setiap hari hanya dianggap angin lalu karena hasil yang tak cukup memuaskan.
"A-ku sudah berusaha demi ayah. Hanya itu yang aku bisa."
Rambut Jimin dicengkram erat. Pedih, sakit bersamaan ketika dipaksa mendongak. Lebih sakit lagi menatap wajah ayah Park yang tampak marah.
"Dengarkan aku!" Pinta pria paruh baya itu dengan mengeratkan genggamannya.
Dengan sangat terpaksa Jimin memperhatikan. Menatap manik sipit ayah yang sangat mirip dengan milik Yoongi.
"Jika semua nilaimu tidak ada perkembangan, saya akan menyewa guru privat dan selama itu juga kamu tidak akan pernah saya izinkan untuk bertemu Yoongi. Pikirkanlah baik-baik.—
Genggaman mengendur, ia segera memberi jarak. Menatap Jimin yang masih berderai airmata di wajahnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
—Waktunya hanya sampai semester ini. Bekerja keraslah dengan otakmu, jangan membuat saya membesarkanmu dengan sia-sia."
Ingin sekali Jimin menertawai kehidupan malangnya. Sudah memiliki otak bodoh, tak diinginkan kedua orangtuanya dan apa sekarang ini? Dirinya pun terancam akan dijauhkan dari Yoongi.
Siapa tempat bertumpunya selanjutnya jika hal itu benar terjadi?
Barusaja berdamai dengan amarahnya terhadap Yoongi, melupakan semua hal yang membuatnya tersakiti dari Yoongi dan mencoba untuk mengikuti kata hatinya untuk menjalankan hubungan baik dengan saudaranya.
Tapi takdir seolah mempermainkan mereka perantara sang ayah.
☆☆☆
Mentari pagi telah kembali menyinari dunia setelah melewati gelap. Jimin tertidur meringkuk beralaskan tikar lusuh yang ada di gudang. Dengan wajah yang sedikit dihiasi cahaya matahari yang masuk di celah jendela kecil.
Beberapa perkataan menyakitkan dari ayah telah ia terima, begitu pula dengan sedikit kekerasan fisik. Terpaksa ia menyetujui apa yang telah menjadi rencana ayah. Semua demi kehidupannya dan juga Yoongi.
Dirinya ditinggalkan begitu saja disini dan dikurung semalaman sebagai hukuman karena dituduh telah berkata buruk tentang sang ayah pada Yoongi.
Semua kembali pada Yoongi. Ini terjadi karena Yoongi walaupun dirinya tidak melakukan apa-apa. Jimin tentu tidak bisa mengelak dan mengatakan yang sebenarnya.
Karena dirinya tidak akan pernah dipercayai siapapun.
Lenguhan Jimin mulai terdengar. Ia terjaga saat merasakan pegal dan perih bersamaan di punggung. Matanya menyipit mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"A-ah." Desahnya pelan ketika mencoba duduk dan bersandar pada dinginnya dinding.
"Aku pasti sudah terlambat." Gumam Jimin sembari memandang jendela kecil yang memaparkan panasnya mentari.
Pintu belum juga dibuka. Mungkin ayah melupakan dirinya yang terkurung disini atau bahkan sudah pergi dari semalam. Memang ayah Park sangatlah jarang berada di rumah karena urusan bisnisnya yang ada di luar kota, begitupun ibunya yang hanya mengikuti kemanapun suaminya pergi.
Bisa dihitung dengan jari mereka menginap disini. Maka dari itu, Jimin dititipkan pada Yoongi dan diberi perintah untuk mendidik Jimin agar lebih fokus pada pendidikannya.
Jimin berdiri perlahan bertumpu pada dinding. Berjalan pelan menuju pintu gudang yang masih terkatup rapat. Segera bersorak keras memanggil Yoongi yang mungkin saja belum berangkat bekerja.
Kalaupun ayah masih dirumah ini, Jimin tidak akan dibiarkan bolos sekolah begitu saja. Sekalipun sakit, ia tetap dipaksa untuk bersekolah.
"KAK YOONGI! JIMIN DI GUDANG, TOLONG BUKA PINTUNYA!"
Derap langkah terdengar dari luar dengan terburu-buru. Jimin sedikit bernafas lega bahwa teriakannya dapat di dengar.
Ceklekan pintu reflek membuat Jimin menegakkan tubuhnya. Sedikit bergeser berdiri di sisi pintu.
"Akhirnya.." Ucap Yoongi bernafas lega. Matanya menelisik setiap senti wajah Jimin yang tampak tak bersemangat.
Bibir Jimin hampir kehilangan warna aslinya. Kedipan matanya memelan seiring mencoba untuk tersenyum ketika menyadari atensi Yoongi yang telah berdiri tepat di depannya.
"Jimin pusing." Setelah berucap, tubuh Jimin limbung ke depan yang segera di sambut Yoongi dan di dekap erat.
Kesadaran Jimin menghilang setelah berkata. Yoongi panik ketika merasakan suhu tubuh si adik sedikit panas. Dengan cepat ia memposisikan tubuhnya berancang-ancang mengangkat tubuh kecil Jimin. Membawa keluar dari gudang.
Ia tak tau apa yang terjadi. Yang pasti adiknya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ada sesuatu yang menyebabkan adiknya begini dan juga terkurung dalam gudang.
☆☆☆