25

579 141 95
                                    

Tuan Park berjalan memasuki rumah dengan raut lelah dan wajahnya juga tampak berantakan. Tangannya bergerak melepas dasi yang terasa mencekik.

Hari ini sangat melelahkan baginya. Bekerja dua kali lipat lebih sibuk dari biasanya karena sempat mengambil cuti beberapa hari. Juga ditambah banyaknya schedule pertemuan dengan banyak kolega.

Akibatnya, tubuhnya membutuhkan istirahat malam ini. Namun sepertinya harus tertunda sementara ketika dirinya tiba-tiba mengingat si bungsu masih tertahan di kamarnya.

Langkahnya seketika berganti arah menuju lantai atas. Samar-samar telinganya mendengar panggilan lirih dari salah satu kamar disana. Memanggil namanya disertai ketukan pelan pada pintu.

"A-ayah, tolong buka pintunya." Begitu yang ia dengar dari balik pintu.

Songmin bisa saja mengabaikan anak itu untuk malam ini dan memilih beristirahat dengan nyaman. Tentu dirinya masih memiliki hati nurani walau sedikit untuk melihat keadaan sang anak.

Sebab seharian penuh ia telah berkutat dengan pekerjaan dan tidak sama sekali mengingat ada anak yang telah dirinya kurung dirumah. Untuk saat ini, Songmin berpikir ia akan memberinya asupan terlebih dahulu.

Kunci yang tergantung segera ia putar dan membuka kenop pintu, seketika matanya mendapatkan keadaan yang tampak menyedihkan dari pemuda yang duduk terkulai dengan lemas.

"A-ayah..." seketika itu pula Jimin beringsut mendekat dan memeluk erat kaki jenjang pria tegap di depannya. Menangis terisak disana walau matanya tak lagi mengeluarkan airmata.

"Kumohon ayah, tolong biarkan aku pergi ke Busan. Aku tidak ingin disini." Pinta Jimin dengan suara yang tersendat-sendat. Tenggorokannya sudah cukup lelah dan terlampau sulit mengeluarkan suara dengan normal akibat telah menangis seharian ini.

Pada awalnya Songmin terdiam ketika mendapati keadaan sang anak yang jauh dari kata baik. Setelah mendengar deretan kalimat itu, entah kenapa emosinya mendadak naik. Ia marah, mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Terlihat sangat membenci kalimat itu terlontar dari mulut Jimin.

"A-ayah, kumohon..." suara lirih itu terus memohon tiada henti sembari menatap ke atas, memperlihatkan rahang pria dewasa itu mengeras.

"Aku ingin bersama bunda, ayah."

Raga yang lelah jika amarahnya dipancing, akibatnya bisa jadi fatal. Tidak peduli bagaimana keadaan Jimin, Songmin menyentak kakinya hingga pegangan anak itu terlepas dan berakhir meringkuk.

Songmin berjongkok menghadap Jimin, menatap sang anak dengan tatapan yang menajam. Sedangkan Jimin sendiri terlampau lemah untuk membenarkan posisinya. Ia kesulitan untuk mendudukan diri dan berakhir merebahkan tubuhnya disana.

Isakannya makin nyaring terdengar.

"Siapa yang kau maksud bocah!" Gertak Songmin keras. Walau ia sendiri jelas tahu siapa yang dimaksud, dirinya memastikan karena ingin mendengar sejauh mana yang Jimin ketahui tentang perempuan itu.

"Bunda Sora."

"Aku tahu aku bukan anakmu, ayah. Buang aku dari rumah ini. Aku ingin bersama bunda." Lanjut Jimin bergumam. Entah menyadari atau tidak bahwa ucapannya bisa saja memancing kemarahan ayahnya.

Kamar itu terlampau sepi dan hening. Terlebih waktu yang hampir memasuki dini hari membuat Songmin dapat mendengarnya dengan jelas.

"Kau yakin dengan ucapanmu?" Nada suara Songmin terdengar begitu dingin dan menusuk.

"Ya."

Lengan Jimin ditarik kasar hingga membuat dirinya terduduk. Rahangnya dicekram kuat sehingga otomatis menghadap raut menakutkan milik ayahnya. Nyali Jimin dibuat menciut karena tatapan  itu.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang