•••
Masih di kelas, Jimin terdiam menatap satu lembar kertas hasil ulangan harian pertama pada semester ini. Padahal murid-murid lainnya sudah keluar lebih dulu beberapa menit yang lalu. Menyisakan dirinya seorang disana meratapi diri melihat nilainya yang sangat buruk.
Menggigiti ujung kuku dengan gelisah.
'Ayah pasti marah, bagaimana ini' pikirnya sambil terus memelototi angka 70 dengan tinta merah di kertas itu.
Jika bisa, Jimin tidak akan memberitahu ayahnya soal ini. Tapi sayangnya, pria itu selalu tahu karena guru yang bersangkutan selalu melaporkan jika muridnya mendapat nilai di bawah KKM.
Jimin takut pulang, takut untuk bertemu ayahnya. Lebih tepatnya takut untuk menerima amukan marah sang ayah seperti yang sudah-sudah.
"Astaga, bagaimana ini!" Keluhnya semakin gelisah karena tak kunjung menemukan solusi.
Sebenarnya percuma saja. Sekeras apapun ia berusaha berpikir, solusi itu tidak ada. Kecuali, jika dia berniat untuk kabur dari rumah.
Hell, itu tidak mungkin.
"Jim, masih disini?" Taehyung yang barusaja masuk setelah membantu gurunya membawakan banyak buku—sontak terkejut. Melihat Jimin yang masih menduduki bangkunya dan lihat, bahkan buku yang berserakan di mejanya saja belum dikemas.
Jimin mendongak. Taehyung berjalan mendekat padanya sambil bertolak pinggang. "Kau ingin mengulangi kebiasaan lamamu?"
"Hah?"
"Mau belajar sampai malam lagi disini?"
Jimin lantas menggeleng. "Ti-tidak lah! Kak Yoon tidak lagi mengizinkanku."
"Terus, mau apa masih disini?" Taehyung sempat melirik ke atas mejanya. Menemukan selembar kertas yang tadinya menjadi permasalahan bagi Jimin.
"70?" Tanya Taehyung tak percaya. Ia mengambil kertas itu untuk bisa dilihat secara jelas. Tapi mulutnya terus berbicara, "Jim, kau itu pintar. Tumben sekali dapat nilai rendah seperti ini? Tapi tetap aku yang paling rendah sih," ia terkekeh kecil.
Jimin mendengus. "Pintar apanya! Harusnya Joshua yang harus kau katakan pintar. Nilainya selalu sempurna. Aku jadi kesulitan menyainginya," Jimin bergumam pada kalimat terakhir.
Tapi masih dapat didengar Taehyung. Sepinya ruang kelas membuat keadaan sunyi, jadi suara sekecil apapun pasti jelas terdengar.
"Bersyukur saja. Tidak usah dipaksa jika tidak mampu. Lagipula nilaimu juga jauh lebih baik. Tapi entah kenapa sekarang bisa anjlok seperti ini,"
"Jim," Taehyung menatap sahabatnya itu dengan lekat, Jimin jadi merasa aneh dengan raut wajahnya itu.
"Kau baik-baik saja? Ah—maksudku, ini tidak akan menjadi masalah 'kan?" Tangannya menunjuk kertas tadi.
"Masalah bagaimana?" Pura-pura bingung walau Jimin sendiri sudah mengerti kemana arah pembicaraan Taehyung. Dalam hatinya terus bergumam 'apa Taehyung tahu sesuatu'.
"Anu itu, ay— Aish!" Taehyung memukul dahinya sendiri, mengutuk tak jelas. "Jimin, aku mau menginap dirumahmu boleh 'kan?"
Jimin melirik bingung melihat tingkah aneh Taehyung. "Aku tidak tahu, Tae." Jawabnya seadanya.
"Pasti boleh, biar aku yang bicara pada ibumu."
Kalau begitu kenapa masih bertanya? Kira-kira begitulah arti tatapan Jimin saat ini.
"Cepat kemas bukumu, ini sudah sore."
•••
"Malam kak Yoon,"