Air mata penyesalan mengalir deras di wajah Yoongi. Dirinya sangat menyesal atas semua yang terjadi menjadi kesulitan adiknya. Mungkin saja dirinya ini juga menjadi salah satu kesulitan yang dialami adiknya itu.
Karena, Yoongi alasan utama yang membuat ayah dan ibu mereka tidak begitu memperdulikan kehadiran Jimin.
"Jangan pernah berkata begitu." Yoongi terus menggeleng dengan lemah. Tubuhnya terduduk begitu saja pada lantai marmer nan dingin, kepalanya tertunduk dalam menyesali semua yang telah terjadi.
"Jimin.." Yoongi mengangkat pandangannya, menatap Jimin yang menangis dalam diam.
Secara perlahan ia bangkit. Tangannya bergetar berusaha menggapai tubuh milik adiknya. Merengkuh tubuh yang lebih kecil darinya dengan erat.
"Jimin tidak salah. M-maafkan kakak, mungkin kehadiran kakak yang membuat ayah dan ibu tidak memperhatikan Jimin. Jangan salahkan ayah dan ibu."
Yoongi terisak keras, menumpahkan seluruh kesedihan. Mengusap surai belakang Jimin dengan sayang. Tidak memperdulikan gerakan Jimin yang seakan menolak afeksi darinya. Ia justru lebih mengeratkan pelukan itu.
"Jadi, jangan katakan itu. Kakak bersikap seperti itu bukan karena membencimu, tidak begitu. Justru kakak melakukannya karena menyayangimu. Hanya saja kakak tidak ingin melihatmu terus dihukum ayah."
Jimin seolah sudah kehabisan energinya, ia tak memberontak lagi. "Aku bahkan tidak sayang kakak." Lirihnya.
Yoongi tersenyum miris. Yoongi mengurai rengkuhan dan beralih menangkup kedua pipi adiknya yang berbekas kemerahan di bagian kiri. Jarinya mengusap jejak itu dengan lembut.
"Ini pasti sangat sakit." Ujarnya. Hanya itu yang ia khawatirkan saat ini. Begitu pula dengan perasaan adiknya.
Seharusnya Yoongi dapat mengerti itu dari awal. Karena rasa khawatir, ia justru semakin menekan Jimin untuk semakin menjadi lebih baik. Tanpa sadar bahwa tindakannya itulah yang membuat kesengsaraan lebih bagi adiknya.
"Tidak apa-apa jika Jimin membenci kakak sekalipun." Ucapan Yoongi terdengar parau, menarik perhatian Jimin. Ia menatap manik sipit Yoongi yang memerah.
"Asal Jimin selalu bahagia. Hanya itu yang kakak mau." Lanjutnya seiring dengan airmata yang kembali mengalir.
Sangat menyedihkan kisah seorang Park Yoongi jika dijelaskan secara detail. Jika Jimin mengerti posisinya, Jimin tidak akan mungkin menyalahkan keadaan yang membuat hubungan mereka menjadi renggang begini.
Andai saja Jimin mengetahui niat baiknya di balik ini semua, dapat dipastikan adik kesayangannya itu tidak akan membenci dirinya.
"Kakak janji akan membawamu pergi dari tempat ini. Maaf jika belum bisa membuatmu lepas sekarang. Kakak tidak punya kuasa." Mata Yoongi mengerjab cepat berusaha menahan airmata yang lagi-lagi ingin tumpah, namun akhirnya tetap mengalir juga.
"Kakak memohon padamu, Jim. Tolong bertahan hingga waktunya tiba. Kakak benar-benar berjanji akan membawamu jauh dari jangkauan ayah dan ibu yang membuatmu menjadi sakit seperti ini." Jelas Yoongi panjang. Tangannya mengusap bekas tamparan yang begitu kentara berwarna kemerahan pada pipi Jimin.
Jimin masih tak bergeming di tempatnya. Diam-diam dia menikmati kasih sayang yang Yoongi berikan padanya. Jujur, dia merasa disayang dan dilindungi jika kakaknya memberi perhatian seperti ini. Dan juga, membuatnya merasa nyaman.
Yoongi mengusap kasar jejak airmata di pipinya, beralih merangkul Jimin dan menuntunnya ke arah kasur.
"Sekarang kau tidur, ya? Belajarnya ditunda dulu, kau harus istirahat."