Semua berkumpul di ruang keluarga. Dengan Jimin yang duduk berdampingan dengan Yoongi dan Ayah juga ibunya yang duduk di seberangnya. Jimin hanya bisa tertunduk saat orangtua mereka memandang dirinya dengan tatapan menyelidik.
Berbeda dengan Yoongi yang justru mengenggam telapak dingin Jimin dengan erat yang terapit antara dirinya dan Jimin.
Jimin terkejut kala tangan besar Yoongi meraih tangannya seakan memberi segala kekuatan untuk menghadapi kearoganan sang ayah.
"Saya dengar nilai kamu menurun beberapa hari terakhir ini. Harusnya kamu mengerti apa yang saya inginkan. Tapi kenapa bisa sampai begitu?!" Tanya kepala keluarga yang terdengar mirip seperti bentakan.
"Yoongi saja selalu memiliki peringkat tinggi walaupun tidak mengikuti kelas tambahan. Tapi kenapa kamu tidak? Kamu hanya perlu belajar setiap harinya dengan rajin, makan kamu pun saya yang tanggung. Jangan membuat saya malu dengan nilai rendahan kamu itu!"
Tangan Jimin yang di genggam Yoongi bergemetar pelan menahan ketakutan. Yoongi mengernyit menatap mimik wajah Jimin yang terlampau santai dalam tundukannya. Respon tubuh dan ekspresi Jimin berbanding terbalik.
"Ayah, Jimin bahkan tidak pernah beristirahat. Harusnya ayah menghargai sedikit saja usaha Jimin untuk mencapai keinginan ayah itu. Harusnya ayah juga mendukung Jimin. Bukan menyalahkan Jimin begini."
Pandangan Jimin terangkat, memperhatikan wajah Yoongi yang memaparkan kemarahan yang tertahan. Kulitnya yang putih pucat sangat kontras dengan warna kemerahan dari emosi yang ia perlihatkan.
"Ayah tidak bicara denganmu, Yoongi."
"Tapi ayah selalu menyebut namaku pada Jimin. Aku tidak suka tiap ayah membandingkan kami. Jimin adikku!" Balas Yoongi diakhiri dengan penekanan pada dua kalimatnya.
Jimin tertegun sejenak. Pertama kalinya Yoongi membelanya dan juga melawan pada ayah mereka. Sebelumnya bisa dibilang Yoongi takut akan mengecewakan orangtua, karena itulah ia hanya menjadi anak yang penurut tanpa membantah apapun yang diperintahkan.
Tidak untuk kali ini. Yoongi sungguh berani mengekspresikan perasaannya hanya karena Jimin. Tidak seharusnya adik kecil itu menerima kemarahan tak berdasar dari ayah.
Wajar-wajar saja jika terjadi peningkatan dan penurunan dalam nilai sekolah selagi itu tidak menganggu dalam kenaikan kelas.
Lain juga dengan Jimin yang memiliki penurunan nilai karena ujian ulangan harian pada tiga mata pelajaran. Itupun masih bisa di perbaiki dengan remedi.
"Kamu berani membantahku sekarang, Yoongi?! Adik yang kamu sebut itu bodoh dalam pelajarannya. Bahkan nilai matematika dia selalu di bawah KKM!"
Mendengar penuturan penuh emosi dari ayah, Jimin sontak menunduk dalam. Merasa malu memiliki otak bodoh yang tak setara dengan kepintaran milik Yoongi tentunya.
"Adikku tidak bodoh! Jangan sekali-kali ayah mengatakan itu." Balas Yoongi.
"Kenyataannya memang begitu."
"Tidak! Ayah jangan sok tahu. Jimin hanya kesusahan dengan materi rumit matematika."
Harusnya yang terjadi malam ini adalah kehangatan dari keluarga. Harusnya Yoongi tidak mengelak semua ucapan yang keluar dari mulut ayah tentang Jimin. Sudah dipastikan hal ini sudah selesai sedari tadi.
Biasanya ayah hanya berbicara menyakitkan sejenak, membandingkan, dan setelah itu ia akan dipersilahkan untuk belajar. Tapi, tidak untuk kali ini. Sudah hampir setengah jam ia memperhatikan kedua orang tersayang bersitegang hanya karena dirinya.
"Kak, sudah. Jangan menjawab lagi." Bisik Jimin menggelengkan kepalanya.
Yoongi tertoleh masih dengan wajah merah padamnya. Menatap Jimin dengan tajam. Bahkan sekarang tangannya ia lepaskan dari genggaman Jimin.