Selamat Membaca....
Pak Arya tengah duduk sembari memperhatikan seseorang dari dalam salah satu ruangan rumah sakit. Tampak kecemasan dalam raut wajahnya, mukanya kusut semalaman suntuk ia terjaga. Risau, resah, dan gelisah selalu menyelundup membuat kegalauan dalam benaknya. Sesekali ia memgusap wajahnya kasar merasa tertekan.
Seorang wanita yang selalu menerima kekurangannya, menasihati kesalahannya, dan yang telah berjuang dengan dirinya sejak lama, kini tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit berselimut putih. Di hidung wanita dengan mata rindang itu tampak sebuah selang alat bantu pernapasan yang semakin menghiaskan kesedihan Pak Arya.
Sakit hatinya menatap Istri tercintanya harus berhadapan dengan Rumah Sakit. Sesekali Pak Arya menunduk seraya berdo'a untuk kesembuhan istri tercinta. Tidak ada yang dikatakan oleh Dokter tentang penyakit yang diderita Wanita itu.
Beberapa saat setelah ia menunduk, ia pun langsung mendongak mengintip lagi ke dalam ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Mata rindang Riana yang menjadi luka terdalam saat ini. Mengapa Riana tidak pernah menceritakan tentang penyakitnya ini?
Hal yang selalu ia pertanyakan pada dirinya sendiri. Rasa bersalah telah menjamur dalam hatinya. Tidak henti-hentinya Pak Arya menyalahkan dirinya sendiri atas penyakit Riana. Cukup lama ia memperhatikan Wanita itu, dan kini ia melihat pergerakan dari tangan Riana.
Sontak saja, hal itu membuat Pak Arya sedikit terkejut. Dirinya terbangun dari tempat duduknya dan berlari menuju ke dalam ruangan itu. Ditatapnya lagi Riana dengan mata sayu. Pergerakan itu mulai terasa nyata sekarang. Nafas Riana kembali tidak stabil, tampak sekali Dada Riana turun dan terangkat dengan irama yang sangat cepat.
Pak Arya yang khawatir langsung masuk ke dalam ruangan dan mengelus dahi istri tercintanya tersebut. Mata Riana tetap tertutup rapat namun nafasnya tampak tersengal-sengal.
"Sayang? Riana? Kamu kenapa?" Ucap Pak Arya tidak tentu. Ucapannya begitu tidak karuan begitu pula pikirannya.
Kepanikan mulai terjadi ketika Pak Arya menatap layar monitor yang terdapat di sebelah Riana itu bergerak tidak stabil. Pak Arya yang panik langsung keluar ruangan untuk memanggil dokter.
"DOKTER! PERAWAT! SIAPAPUN! DOKTER...!" Seru Pak Arya yang begitu panik menyaksikan kondisi Istrinya.
Tampak seorang dokter dan dua orang perawat masuk ke dalam ruangan setelah mendengar teriakan Pak Arya.
"APAKAH KALIAN DIGAJI HANYA UNTUK TIDUR? CEPAT LAKUKAN SESUATU UNTUK ISTRI SAYA!" Ucapnya lagi yang benar-benar tidak tahan melihat kondisi Riana.
"Tolong Pak, biarkan kami bekerja dengan tenang. Lebih baik jika anda keluar." Ucap Dokter sembari mengambil tindakan dengan menyuntikkan obat ke lengan Riana.
Seorang perawat menuntun Pak Arya keluar ruangan. Tidak ada kata-kata lagi yang dikeluarkan oleh Pak Arya yang emosi melihat Dokter dan Perawat itu yang telat menangani istrinya itu.
Pak Arya keluar dengan perasaan campur aduk, dirinya benar-benar tidak bisa berpikir jernih hari ini. Pikirannya kalut dan rasanya ingin sekali membanting sesuatu. Pak Arya menahan amarahnya sebagai bentuk kepatuhannya terhadap kedamaian Rumah Sakit.
Pak Arya duduk di kursi tunggu sambil menunduk, tangannya mengepal seperti hendak memukul orang, matanya merah dan terlihat sangat marah. Dirinya tidak sanggup melihat rasa sakit yang diderita Riana.
Air mata Pak Arya hampir terjatuh saat itu, namun ditepisnya karena ia harus kuat. Dirasakannya sebuah tangan meraba pundaknya lembut. Sontak saja dirinya terkejut, ia pikir itu adalah Riana yang sedang mengusap bahunya lembut. Namun, setelah dirinya mendongak dan melihat siapa orang itu, ia pun menarik nafas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief for Zahra's life (On Going)
Fiksi RemajaSeorang gadis SMA alumni pondok pesantren yang dikenal sangat cantik dengan mata indahnya dan suara lembutnya yang selalu terdengar merdu, dibaluti hijab syar'i yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Tanpa sengaja mencintai seorang guru yang telah be...