Teman Baru

4 0 0
                                    

"Ilana bukan?" tanya seorang perempuan dengan paras wajah cantik bak orang arab. "Orang Jawa Tengah itu, kan?"

"Iya. Fatin Bekasi bukan?" tanyaku dengan format yang sama dengan dirinya.

"Iya betul," jawabnya dengan mata berbinar-binar.

Kedua orang tua kami menyaksikan pertemuan pertama itu. Aku mengulurkan tangan di depannya. Bersalaman untuk pertama kalinya.

Sementara barang-barang yang ku bawa ke lantai dua sementara baru ku letakkan di kamar. Aku menitip barang kepada Fatin. Sedangkan aku dan mama beranjak turun menuju lobi.

Aku memesan sarapan melalui aplikasi di smartphone. Dan beberapa saat kemudian makanan itu datang. Kami sempat menyantap makanan itu di lobi asrama.

Setelah memastikan bahwa anak gadisnya baik-baik saja, mama dan ayah berpamitan kepadaku. Sebenarnya mereka tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berkunjung ke rumah saudara ayah yang ada di Depok. Baru setelah itu mereka akan langsung pulang.

"Hati-hati ya," ucapku kepada mereka berdua setelah menghabiskan tiga jam istirahat di lobi asrama.

"Iya. Kamu juga hati-hati ya. Kalau kemana-mana sama Fatin, sama temen. Jangan sendiri!" Pesan mama kepadaku sembari menatapku lekat-lekat. Memastikan bahwa anak bungsunya itu paham dengan apa yang dikatakan.

"Betul kata mama kamu. Inget ini di Jabodetabek. Banyak orang jahat," ucap ayah menambahkan.

Aku mengangguk. Meraih tangan mereka dan mengecup punggung tangannya.

"Assalamualaikum," kata mereka berdua dari dalam mobil.

"Waalaikumsalam," jawabku dengan nada gemetar.

Aku sebenarnya sangat membenci perpisahan. Apalagi berpisah dengan orangtua. Bayangkan orang yang selama ini tinggal satu rumah dengan kita, tiba-tiba berbeda tempat tinggal. Tentu ada perasaan aneh yang menjalar hingga ke ulu hati.

Ku rasa, konsep homesick bukan saat ketika kita akan pulang ke rumah., tapi justru saat kita baru saja ditinggal sendirian di perantauan oleh orangtua.

Suara mesin mobil yang tadinya masih terdengar keras di telingaku, kini berangsur menghilang. Air mataku sudah kupastikan akan jatuh jika aku tidak berusaha untuk menahannya.

Tak ingin malu karena ketahuan menangis oleh banyak orang yang berlalu lalang, aku buru-buru kembali ke kamar. Mengemasi barang bawaanku yang belum tertata rapi.

"Lan? Orang tua kamu udah pulang?" sambut Fatin ketika aku baru saja masuk ke dalam kamar.

"Udah barusan. Kenapa?"

"Oh ngga papa. Umi aku juga tadi udah pulang."

"Ini koper siapa?" tanyaku ketika melihat koper berwarna hitam dan berukuran besar yang tergeletak di depan kamar.

"Oh itu koper milik Kenzia."

"Ohh." Aku mengangguk paham. Tidak asing dengan nama itu. Pasalnya, kita sudah pernah berkenalan sebelumnya melalui Line. "Satu lagi, Maria?"

"Dia masih di perjalanan. Macet katanya."

"Assalamualaikum. Permisi? Ada orang?" sapa perempuan dengan rambut pirang yang dikuncir kuda. Ia masuk ke dalam kamar ini.

"Waalaikumsalam. Ada. Ini Kenzia? Yang orang Bogor itu bukan?"

"Iya, betul. Ini Ilana yang dari Jawa Tengah?" tanyanya balik.

Obsesi VirtualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang