Dua hari lagi adalah jadwal keberangkatanku menuju kota Jogja. Pagi itu aku melakukan meditasi. Aku membedah segala sesuatu dalam pikiranku yang berpotensi menjadi penghalang ujian SBMPTN nanti. Aku tidak mau kesempatan SBMPTN ini disia-siakan.
Aku melamun di rooftop rumahku. Aku memang dapat melakukan meditasi dimana saja, asal tidak ada orang lain selain aku dan diriku sendiri.
Pemandangan yang disajikan di rooftop pagi itu mampu menjernihkan pikiran siapa saja. Mulai dari kupu-kupu yang berterbangan bebas di hadapanku, cuitan burung Lovebird peliharaan ayahku, dan atau pemandangan gunung Slamet yang terlihat cerah mampu membuatku betah untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Aku meniti satu per satu hal yang mengganggu pikiranku. Satu dua hal dapat aku kendalikan. Tumpukan pikiran itu kini sudah menipis beberapa gsm (gram per square meter).
Satu hal tentang Bagas dan sisanya adalah tentang Kak Rangga.
Hatiku masih menginginkan Kak Rangga. Namun, pikiranku mengatakan bahwa aku tidak boleh berhubungan lebih dengan Kak Rangga, persis seperti pada saat aku belum mengenal Kak Rangga pada malam itu.
Aku kepalang bingung harus bagaimana menyikapi hati dan pikiranku sendiri. Aku tidak ingin membiarkan pikiran semacam itu menghantuiku ketika mengerjakan ujian SBMPTN. Bagaimanapun, malam ini aku harus confess dengan Kak Rangga.
Confess adalah satu-satunya langkah akhir bagi setiap manusia yang jatuh cinta sendirian. Confess akan membuat segalanya terasa lebih baik.
Aku akan menyatakan perasaan itu pada Kak Rangga malam ini. Aku akan confess bahwa aku mengaguminya bahkan saat pertama kali melihat fotonya. Aku akan confess bahwa sebenarnya aku tidak ingin memiliki hubungan lebih, apalagi dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya. Aku akan menyampaikannya malam ini juga.
Seharian aku sibuk me-review materi SBMPTN. Alih-alih menunggu malam datang, aku juga menonton beberapa film di Netflix. Aku sempat membuat secangkir kopi untuk mengusir kantuk.
Waktu berlalu begitu cepat. Malam yang ditunggu-pun akhirnya datang. Pukul setengah dua belas malam, aku menyapa Kak Rangga. Tujuh menit kemudian Kak Rangga membalas pesanku itu.
Ilana : "Kak Rangga."
Kak Rangga : "Iya, Lan. Ada apa?"
Ilana : "Lagi ngapain, Kak?"
Kak Rangga : "Lagi nyantai nih di kamar."
Ilana : "Ohh, nyantai sama siapa?"
Kak Rangga : "Sama temen. Ada temen yang main ke rumah."
Ilana : "Ohh gitu ya."
Kak Rangga : "Iya. Tumben malem-malem chat?"
Ilana : "Iya nih, Kak. Aku mau nyampein sesuatu. Boleh ngga?"
Kak Rangga : "Boleh. Emang mau nyampein apa?"
Aku gugup ketika ditanya seperti itu oleh Kak Rangga. Jantungku berdebar. Hatiku berkecamuk. Keringat dingin sudah membasahi tanganku. Perasaan takut juga menyelimutiku kala itu. Aku sungguh takut mendengar pengakuan yang sebenarnya dari Kak Rangga.
Ilana : "Aku sampein lewat voice note ya. Nanti didengerin kalo lagi sepi aja."
Kak Rangga : "Iya, nanti aku dengerin."
Ilana : "Janji didengerin waktu lagi sepi?"
Kak Rangga : "Iya, mau nyampein apa si?"
Aku lantas menekan symbol microphone yang ada pada room chat Kak Rangga. Aku ingin menyampaikan semuanya malam ini juga. Aku ingin semuanya berakhir malam ini.
Pesan yang aku sampaikan dalam voice note itu berdurasi empat menit lima puluh detik. Aku merangkumnya dalam sebuah voice note itu.
Kak Rangga, malem ini aku mau nyampein sesuatu. Tolong didengerin baik-baik, ya. Aku mau nyampein kalo dari awal, ketika aku lihat Kak Rangga di story WhatsApp milik Kak Boni, aku udah menyukai Kak Rangga. Sedari awal aku tertarik dengan Kak Rangga karena Kak Rangga adalah sosok pria yang selama ini menjadi tipeku. Berkulit putih, (terlihat kalem), dewasa, dan satu lagi aksen "manis" sebagai orang Jawa. Aku menyukai Kak Rangga dengan alasan itu semua.
Aku juga mau nyampein hal penting yang lain. Jauh sebelum aku kenal dengan Kak Rangga, aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan seseorang. Hubungan itu berakhir dengan tidak baik. Akibatnya, aku nggak mau memiliki hubungan spesial dengan siapapun pada tahun ini. Tapi tekadku kandas dengan kehadiran Kak Rangga.
Kak Rangga juga harus tahu bahwa sedari awal, aku hanya ingin menanyakan nama Kak Rangga pada Kak Boni. Aku tidak menginginkan sesuatu yang lebih dari pada itu. Kak Boni justru menyampaikan ke Kak Rangga bahwa aku menyukai Kak Rangga. Sejauh itu aku merasa baik-baik saja hingga kemudian aku tahu bahwa ada "seseorang" di masa lalu Kak Rangga.
Aku tau kalau Kak Rangga belum sepenuhnya selesai dengan masa lalu itu. Aku menyadari bahwa kehadiranku hanya sebagai pengisi waktu luang buat Kak Rangga. Jauh dari pada itu, Kak Rangga masih menginginkan perempuan itu, kan?
Kalau boleh aku tau, Kak Rangga sedang mengejar siapa? Boleh aku tebak? Kak Rangga pasti sedang memperjuangkan perempuan dalam gambar itu, kan?
Aku cuma nggak mau dijadiin pelampiasan, Kak. Aku mengaku sudah menyukai Kak Rangga walaupun Kak Rangga hanya menganggapku sebagai mungkin teman biasa?. Aku mengaku menginginkan sesuatu yang lebih daripada ini.
Aku mengirimkan voice note itu kepada Kak Rangga. Aku kembali meninggalkan beberapa pesan kepada Kak Rangga.
Ilana : "Itu ya, Kak. Aku udah sampein semuanya di voice note."
Kak Rangga : "Wah, panjang juga durasinya, ya. Sampe empat menitan gini wkwk."
Ilana : "Iya hehe. Nanti tolong didengerin waktu lagi santai dan nggak ada orang aja, ya."
Kak Rangga : "Kenapa harus gitu."
Ilana : " 'Cause I love the 3 AM version of people. Vulnerable, honest, and real."
Kak Rangga : "Ohh gitu. Oke deh, nanti aku dengerin ya."
Read.
Balasan pesan Kak Rangga adalah pesan terakhir di malam itu. Aku beranjak tidur setelah membaca pesan terakhir dari Kak Rangga. Tumpukan pikiran dan beban perasaan yang menggangguku kini telah terangkat sebagian Aku tidak membayangkan bahwa confess kepada seseorang akan se-melegakan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi Virtual
Teen Fiction🚧Wajib Follow Sebelum Baca🚧 Ilana, seorang cewe perfeksionis yang selalu berpikiran idealis, merubah pola pikirnya setelah diputuskan oleh Bagas (mantan kekasihnya sewaktu kelas 12). Lalu, kemudian ia bertemu dengan Kak Rangga di layar smartphone...